 Sandi Heryana,
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (Foto: Dok. Pribadi)
Sandi Heryana,
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Ketahanan pangan menjadi isu penting bagi masa depan Indonesia. Di tengah tantangan ekonomi dan perubahan iklim, kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan pangan yang cukup, aman, dan bergizi bagi seluruh penduduknya menjadi kunci kesejahteraan nasional.
Namun, di balik kemajuan pembangunan, masih ada wilayah yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar tersebut — yaitu wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Ketahanan pangan di wilayah 3T menggambarkan perjuangan nyata antara potensi lokal dan keterbatasan infrastruktur.
Secara umum, ketahanan pangan berdiri di atas empat pilar utama:
Menurut penelitian Fauzan Azhima dkk. (2023), keempat pilar tersebut harus saling mendukung agar sistem pangan bisa berkelanjutan. Jika satu pilar rapuh, maka seluruh sistem ketahanan pangan dapat terguncang.
Wilayah 3T di Indonesia — seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah pulau terluar — menghadapi tantangan kompleks dalam memenuhi empat pilar ketahanan pangan. Letak geografis yang terpencil, minimnya infrastruktur, serta rendahnya daya beli masyarakat membuat akses terhadap pangan bergizi menjadi sangat terbatas.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020, wilayah tertinggal ditentukan berdasarkan enam indikator: kondisi ekonomi masyarakat, kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Hingga tahun 2025, Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau mencatat masih ada 183 kabupaten/kota di 27 provinsi yang termasuk kategori 3T. Sebagian telah mengalami kemajuan, tetapi masih ada daerah seperti Desa Berakit di Kabupaten Bintan yang menunjukkan betapa rapuhnya pilar ketahanan pangan di daerah pesisir.
Desa Berakit di Kabupaten Bintan merupakan desa pesisir dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan. Hasil laut di wilayah ini melimpah, namun kendala muncul pada tahap pengelolaan dan penyimpanan.
Penelitian Valentina dkk. (2022) mengungkapkan bahwa teknologi pengolahan dan fasilitas penyimpanan hasil tangkapan masih sangat terbatas. Ketiadaan cold storage yang memadai dan pasokan listrik yang sering terputus menyebabkan hasil tangkapan cepat rusak dan menurunkan nilai jual.
Selain itu, belum adanya pasar formal membuat distribusi pangan bergantung pada jaringan informal. Akibatnya, harga pangan tidak stabil dan pasokan sering kali tidak menentu. Kondisi ini menggambarkan lemahnya dua pilar penting — pemanfaatan dan stabilitas pangan — yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.
Data Kementerian Desa dan PDTT (2025) menunjukkan, 77 persen desa penerima Dana Desa belum mencapai swasembada pangan. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,47 persen, namun di wilayah 3T bisa mencapai lebih dari 30 persen, seperti di Pegunungan Papua.
Keterbatasan infrastruktur dan akses pasar membuat masyarakat sulit memperoleh pangan bergizi. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia masih bergantung pada impor pangan untuk menjaga pasokan.
Sejak 2016, impor beras mencapai lebih dari 1 juta ton per bulan, sementara impor gandum menembus 8 juta ton per tahun (Serikat Petani Indonesia, 2016). Ketergantungan ini membuat harga pangan domestik sangat sensitif terhadap perubahan harga global. Dampaknya paling terasa di wilayah 3T, di mana biaya distribusi tinggi dan daya beli masyarakat rendah.
Pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu bantuan sosial bersyarat yang ditujukan untuk keluarga kurang mampu.
Namun, efektivitas program ini di wilayah 3T masih menghadapi tantangan. Penelitian Kusumawati & Kudo (2019) serta Sihotang dkk. (2022) menunjukkan bahwa kendala utama PKH terletak pada infrastruktur pendukung dan kesalahan penargetan penerima bantuan.
Untuk meningkatkan dampak PKH di wilayah 3T, beberapa langkah yang disarankan antara lain:
Pendekatan ini penting agar bantuan sosial tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan jangka panjang.
Menguatkan ketahanan pangan di wilayah 3T membutuhkan strategi yang menyeluruh dan partisipatif. Beberapa langkah penting yang bisa diterapkan antara lain:
Dengan pendekatan yang terpadu, empat pilar ketahanan pangan dapat diperkuat secara seimbang dan berkelanjutan.
Ketahanan pangan di wilayah 3T Indonesia masih menghadapi tantangan besar — dari keterbatasan infrastruktur hingga kemiskinan yang mengakar. Namun, potensi sumber daya lokal dan semangat masyarakat menjadi modal penting untuk bangkit.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal, serta penerapan kebijakan berbasis data dan teknologi, ketahanan pangan di wilayah 3T dapat ditingkatkan secara nyata.
Membangun ketahanan pangan bukan hanya soal menyediakan makanan, tetapi juga tentang menjamin masa depan bangsa melalui kemandirian dan keadilan pangan di seluruh pelosok Indonesia.
Daftar Pustaka
Penulis: Sandi Heryana
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)
