Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Sudah bukan hal baru jika kemiskinan kerap menjadi pemicu meningkatnya kekerasan domestik. Tekanan finansial yang terus menekan sering kali menimbulkan stres, frustrasi, dan hilangnya kendali diri. Ketika emosi tak lagi terkendali, kekerasan menjadi pelampiasan paling mudah—dan paling menyakitkan.
Di Provinsi Banten, masalah ini tampak nyata. Ketimpangan ekonomi antara wilayah pesisir, pedesaan, dan perkotaan memperlebar jurang kesejahteraan masyarakat. Banyak keluarga hidup dari penghasilan tidak tetap, bergantung pada sektor informal dengan upah rendah. Ketika kebutuhan pokok terus naik sementara pendapatan tidak menentu, rumah tangga berubah menjadi ladang ketegangan.
Korban, yang mayoritas perempuan dan anak, bukan hanya menanggung luka fisik, tetapi juga trauma psikologis dan kehilangan rasa aman di rumah sendiri. Sayangnya, minimnya akses terhadap pendidikan, layanan konseling, dan perlindungan sosial membuat mereka sulit keluar dari lingkar kekerasan.
BPS mencatat, tingkat kemiskinan di Banten masih cukup tinggi dibanding provinsi lain di Pulau Jawa. Daerah seperti Kabupaten Lebak dan Pandeglang menjadi contoh paling jelas: angka kemiskinan tinggi diikuti dengan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Masalah kemiskinan di Banten tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki yang masih kuat, terutama di wilayah pesisir dan pedesaan. Dalam banyak keluarga, laki-laki masih dianggap sebagai pemegang kendali rumah tangga dan satu-satunya pencari nafkah, sementara perempuan ditempatkan sebatas pengurus rumah.
Ironisnya, budaya ini membuat banyak perempuan memilih diam ketika menjadi korban. Mereka takut dipersalahkan, malu, atau khawatir dianggap mempermalukan keluarga jika berani melapor. Akibatnya, kekerasan terus berulang, dan perempuan kembali terjebak dalam lingkaran penderitaan yang sama.
Tak bisa dipungkiri, tekanan ekonomi adalah bahan bakar utama dari kekerasan domestik. Ketika harga kebutuhan pokok naik sementara pendapatan tak kunjung stabil, ketegangan emosional dalam keluarga meningkat.
Laki-laki yang memikul beban sebagai pencari nafkah sering merasa gagal menjalankan perannya. Rasa gagal itu berubah menjadi stres, emosi, bahkan kemarahan. Dalam situasi rumah yang penuh tekanan, komunikasi antaranggota keluarga menjadi rapuh. Sedikit salah paham bisa berujung pada kekerasan verbal, bahkan fisik.
Kekerasan bukan selalu lahir dari niat jahat, tetapi dari kegagalan mengendalikan diri di tengah tekanan hidup. Namun apa pun alasannya, korban tetap menanggung luka — baik di tubuh maupun di hati.
Salah satu penyebab perempuan sulit keluar dari kekerasan domestik adalah ketergantungan finansial terhadap pasangannya. Lapangan kerja yang terbatas, rendahnya tingkat pendidikan, dan norma patriarki membuat banyak perempuan tidak mandiri secara ekonomi.
Ketika ketidakstabilan finansial melanda, posisi perempuan menjadi semakin lemah. Mereka takut mengambil keputusan, ragu mencari bantuan hukum, bahkan tidak percaya diri untuk keluar dari situasi berbahaya. Akibatnya, mereka memilih bertahan, meski harus menanggung penderitaan yang panjang.
Mungkin sulit, tapi bukan mustahil. Lingkar kekerasan dan kemiskinan bisa diputus jika ada dukungan nyata dari lingkungan sosial dan pemerintah.
Beberapa langkah penting antara lain:
1. Pemulihan kepercayaan diri dan kemandirian ekonomi.
Beri akses pelatihan kerja, bantuan usaha kecil, dan perlindungan hukum bagi korban.
2. Peran masyarakat dan pemerintah.
Bangun lingkungan yang mendorong korban untuk berani bersuara, perluas layanan perlindungan, dan tingkatkan bantuan sosial bagi keluarga rentan.
3. Ubah cara pandang.
Kekerasan dan kemiskinan bukanlah takdir. Setiap korban berhak mendapatkan ruang untuk pulih dan berkembang.
Kemiskinan yang memicu kekerasan domestik di Banten bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan ketimpangan sosial dan budaya yang sudah mengakar lama. Tanpa kesadaran bersama untuk memperkuat akses ekonomi, pendidikan, dan sistem perlindungan korban, lingkar ini akan terus berulang.
Masyarakat juga harus berperan aktif — bukan dengan menghakimi korban, tetapi dengan menumbuhkan empati. Karena memutus rantai kekerasan domestik bukan hanya menyelamatkan individu, tapi juga membangun keluarga yang setara, berdaya, dan manusiawi.
Kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari isi dompet, tetapi juga dari rasa aman, penghargaan, dan martabat setiap anggota keluarga.
Penulis: Azzeira Maghda Arghina
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)