TANGERANG | TD – Isu Tesla lebih memilih Malaysia ketimbang Indonesia untuk kerja sama dan investasi dalam bidang teknologi mobil listrik atau electric vehicle (EV) kerap menggulirkan berbagai pertanyaan hingga kini.
Peluncuran mobil listrik model Y dari Tesla untuk Malaysia semakin memperuncing analisa yang muncul sebagai penyebab keengganan ikon teknologi nomor satu di dunia itu untuk bergandengan erat dalam kerja sama dengan Indonesia.
Salah satu alasan yang dituding sebagai keengganan Elon Musk, bos Tesla, untuk segera mengumumkan langkah kerjanya di Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang berpihak pada manufaktur lokal.
Sebuah laporan tertulis (3/8/2023) mengatakan, kebijakan tarif impor 50% bagi mobil listrik utuh ditetapkan pemerintah Indonesia bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan manufaktur lokal. Namun, justru kebijakan tersebut menjadi batu sandungan yang tak diharapkan oleh Musk.
Kebijakan tarif impor tersebut dinilai menghalangi konsumen lokal untuk membeli EV dengan harga yang lebih terjangkau. Padahal, bisnis distribusi EV Tesla tidak hanya meliputi mobil listrik saja, melainkan juga mencakup penyediaan stasiun pengisian daya dan jaringan layanan lainnya.
Kerumitan berinvestasi yang harus memperhatikan industri lokal tersebut menjadikan, tidak hanya Tesla, beberapa investor berharap Indonesia membuat perubahan dengan penawaran pembebasan pajak seperti yang dilakukan Malaysia.
Beratnya Tesla berinvestasi dan mengembangkan kerja sama dalam bidang EV di Indonesia juga diprediksi dikarenakan proteksi total pemerintah terhadap indutri nikel lokal dengan melarang ekspor bijih mentah mineral kunci tersebut.
Sebaliknya, kran yang terbuka lebar dari Malaysia kini menghasilkan kerja sama bernilai fantastis dengan dukungan dari Pemimpin Global Kendaraan Listrik Baterai Malaysia. Hal ini kemungkinan besar akan menjadikan Negeri Jiran tersebut pusat regional industri EV berbasis baterai di Asia Tenggara. (*)