SASTRA | TD – Dalam ruang sastra di dalam negeri, sejarah kolonialisme dan pengaruhnya hingga masa sekarang merupakan hal yang sudah sering dibicarakan.
Budaya penjajahan yang menempatkan sebagian orang, misalnya orang-orang pribumi pada sejarah di Asia dan Afrika, sebagai manusia nomor dua yang tidak mempunyai kebebasan seperti orang kulit putih Eropa. Dan hal ini juga meninggalkan warisan yang tak sedikit berupa kultur atau budaya tertentu.
Kepenjajahan yang telah pergi meninggalkan jejak berupa struktur sosial dan ekonomi serta budaya yang dapat dilihat dalam berbagai segi kehidupan. Seperti berikut ini:
1. Eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja.
2. Tidak memikirkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan membiarkan kerusakan lingkungan terjadi.
3. Ketergantungan ekonomi kepada negeri eks penjajah.
4. Adanya konflik etnis dan perbatasan yang terjadi sejak zaman penjajahan sebagai politik adu domba yang ditinggalkan.
5. Sistem pemerintahan yang merupakan replika dari sistem penjajahan.
6. Hilangnya identitas budaya lokal.
7. Hilangnya kompleksitas dalam tatanan sosial masyarakat lokal meskipun penjajahan telah usai.
8. Kesenjangan antara kaum intelektual elit dengan masyarakat kebanyakan.
9. Sistem pendidikan yang sering tidak berkaitan dengan kebutuhan lokal.
Sebagai bagian dari masyarakat lokal pada masa kini, banyak kaum intelektual, termasuk para sastrawan, yang berusaha merombak budaya dan tatanan sosial yang rusak akibat pengaruh kolonialisme.
Mereka menentang narasi dominasi yang dilakukan para penjajah dengan merekonstruksi berbagai pengetahuan dan sejarah, termasuk melalui karya sastra.
Karya sastra yang berusaha merekonstruksi pengaruh kolonialisme membentuk aliran sastra poskolonialisme.
Di Indonesia, karya sastra yang termasuk aliran poskolonialisme terbilang sangat banyak. Beberapa diantaranya yaitu:
1. “Bumi Manusia”
Karya Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan seorang pemuda keturunan ningrat yang diberi julukan ‘Minke’ (atau monyet, bila dialihbahasakan) oleh gurunya yang berasal dari Belanda.
Salah satu kutipan yang terkenal dari buku ini adalah:
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.” –Pramoedya Ananta Toer–
2. “Burung-burung Manyar”
Karya YB Mangunwijaya ini bercerita tentang kehidupan kaum peranakan di zaman kemerdekaan yang masih menyisakan dominasi kekuasaan penjajah Belanda. Ancaman dan kehilangan orang-orang terdekat menjadi hal yang tak bisa dielakkan.
Selain Burung-burung Manyar, karya Mangunwijaya yang termasuk aliran ini adalah “Durga Umayi”.
3. “Max Havelaar”
Karya Multatuli yang menohok penguasa kolonial di masa Indonesia belum merdeka ini merupakan salah satu buku yang menandakan kebangkitan para pemuda tanah air.
Buku ini menceritakan dominasi penjajah atas kekayaan alam Indonesia dan sengsaranya rakyat yang harus bekerja tanpa imbalan agar para tuannya, bangsawan pribumi, dapat membayar upeti yang diwajibkan Belanda.
4. “Salah Asuhan”
Dalam karya ini, Abdoel Moeis menuliskan kisah asmara antara seorang pria pribumi dan gadis Belanda yang tak mendapatkan kebahagiaan karena dimusuhi oleh keluarga dan teman-teman mereka.
Beberapa buku lainnya mengungkap jejak kental para penjajah Belanda dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli, “Cerita Nyai Dasima” karya G Francis, “Manusia Bebas” karya Suwarsih Djojopuspita, “Belenggu” karya Armijn Pane, “Para Priyayi” karya Umar Kayam, “Atheis” karya A Kartamihardja, “Pulang” karya Toha Mohtar, dan “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. (Pat)