IKN: Antara Ambisi Pembangunan dan Beban Politik Indonesia

waktu baca 4 minutes
Selasa, 7 Okt 2025 19:21 0 Redaksi

OPINI | TD — Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi salah satu proyek paling ambisius dalam sejarah Indonesia modern. Pemerintah menempatkan IKN sebagai simbol pemerataan pembangunan dan langkah strategis mengurangi beban Jakarta. Namun, di balik semangat besar itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah IKN benar-benar wujud transformasi menuju Indonesia maju, atau justru menjadi beban politik yang akan diwariskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya?

Ambisi Besar di Balik Pembangunan IKN

IKN lahir dari visi besar untuk mewujudkan Indonesia yang lebih merata, modern, dan berkelanjutan. Pemerintah menggagas pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur sebagai solusi atas berbagai persoalan serius di ibu kota lama — mulai dari kemacetan, polusi udara, banjir, hingga penurunan muka tanah.

Lebih jauh, IKN dirancang bukan sekadar pusat pemerintahan baru, tetapi juga sebagai kota masa depan berbasis teknologi dan lingkungan. Konsep “smart forest city” yang diusung menggambarkan harapan akan kota hijau yang memadukan kemajuan teknologi, energi bersih, dan keberlanjutan ekologi. Proyek ini juga diharapkan mampu membuka lapangan kerja baru, mendorong investasi, serta menjadi motor pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa.

Dalam pandangan optimistis, pembangunan IKN mencerminkan keberanian politik dan visi jangka panjang pemerintah. Ia menjadi simbol bahwa Indonesia tak lagi terpusat pada Jakarta, melainkan berani membangun poros baru yang lebih inklusif dan berkeadilan. Bila dijalankan dengan transparansi dan konsistensi, IKN dapat menjadi tonggak sejarah transformasi pembangunan nasional.

Kontroversi dan Tantangan di Baliknya

Namun, di balik narasi kemajuan, banyak kritik yang muncul terhadap proyek ini. Sebagian kalangan menilai pembangunan IKN sarat dengan kepentingan politik dan citra kekuasaan. Masalah pendanaan menjadi sorotan utama: proyek bernilai ratusan triliun rupiah ini sebagian masih bergantung pada APBN, sementara banyak sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar belum sepenuhnya terpenuhi kebutuhannya.

Kekhawatiran juga datang dari sisi lingkungan hidup. Kalimantan Timur dikenal sebagai paru-paru dunia, dan pembangunan berskala besar dikhawatirkan akan mempercepat deforestasi serta mengancam habitat satwa liar. Meski pemerintah menjanjikan konsep kota hijau, para aktivis lingkungan menilai janji tersebut perlu diawasi ketat agar tidak menjadi jargon semata.

Selain itu, target agar IKN berfungsi penuh pada 2028 dinilai terlalu ambisius. Infrastruktur dasar, kesiapan lahan, hingga komitmen investasi swasta belum sepenuhnya jelas. Jika pergantian kepemimpinan membawa perubahan prioritas politik, ada risiko proyek ini berhenti di tengah jalan — meninggalkan jejak ambisi tanpa hasil nyata.

Dimensi Politik: Antara Strategi, Citra, dan Kekuasaan

IKN kini bukan hanya proyek pembangunan, melainkan arena politik dan pertarungan citra kekuasaan. Pemerintah berupaya menjual gagasan ini sebagai langkah visioner, tetapi bagi sebagian pihak, proyek ini juga merupakan legacy project—warisan politik pemerintahan Jokowi.

Sejumlah partai besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dan PAN mendukung IKN sebagai simbol pemerataan dan kemajuan nasional. Namun, partai seperti PKS dan sebagian fraksi Demokrat menunjukkan sikap lebih kritis. Mereka menilai pembangunan IKN belum mendesak dan bisa menjadi beban fiskal jangka panjang.

Menjelang pemilu, isu IKN kian politis. Sikap para calon pemimpin terhadap proyek ini menjadi indikator arah kebijakan masa depan. Melanjutkan proyek berarti mendukung kontinuitas pembangunan dan stabilitas politik, sementara menunda atau meninjau ulang dapat menjadi strategi untuk menarik simpati publik yang skeptis terhadap pemborosan anggaran dan risiko ekologis.

Dengan demikian, IKN bukan sekadar proyek fisik, tetapi juga alat politik yang berperan membentuk opini publik, memengaruhi arah kekuasaan, dan menentukan peta dukungan dalam kontestasi politik nasional.

Kesimpulan: Harapan Besar di Tengah Bayang Politik

Pembangunan Ibu Kota Nusantara lahir dari ambisi besar untuk membangun Indonesia yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Namun, di balik idealisme itu, tersimpan tantangan berat — mulai dari pembiayaan, risiko ekologis, hingga tarik-ulur kepentingan politik.

Pada akhirnya, IKN menjadi cermin dilema pembangunan Indonesia: antara visi jangka panjang dan realitas politik jangka pendek. Apabila proyek ini dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan, IKN bisa menjadi simbol kemajuan bangsa. Tetapi jika hanya menjadi proyek citra dan warisan kekuasaan, ia berpotensi berubah menjadi beban politik yang menjerat generasi mendatang.

Pertanyaannya kini, mampukah IKN benar-benar menjadi lambang kemajuan Indonesia — atau akan dikenang sebagai monumen ambisi yang gagal menjawab kebutuhan rakyat?

Penulis:
Siti Nur Ajizah – Mahasiswa Semester 1 Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA