Idulfitri, Antara Momen Kebahagiaan dan Beban Finansial

waktu baca 3 minutes
Selasa, 1 Apr 2025 09:58 0 Redaksi

OPINI | TD Idulfitri selalu menjadi momen yang mengesankan bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Momen ini disambut dengan penuh suka cita melalui berbagai cara, mulai dari membeli baju baru, menyiapkan hidangan khas, hingga berbagi rezeki, seperti memberikan angpao. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kita, sehingga ketika kondisi keuangan tidak mendukung, Idulfitri bisa berubah menjadi tragedi. Banyak yang terpaksa menggadaikan barang berharga atau meminjam uang, termasuk melalui pinjaman online, untuk memenuhi ekspektasi perayaan.

Fenomena ini mirip dengan perayaan tahun baru Masehi, di mana banyak orang berusaha keras untuk menyambut pergantian tahun dengan pesta dan tamasya. Seharusnya, pergantian tahun menjadi momen refleksi, tetapi sering kali bertransformasi menjadi ajang konsumsi yang berlebihan. Hal yang sama juga terjadi pada Idulfitri.

Menelusuri Makna Semantik Idulfitri

Idulfitri kerap dimaknai sebagai audah ila al-fithrah  atau kembali kepada fitrah dalam arti kesucian. Padahal, secara semantik, Idulfitri itu artinya adalah “Hari Raya Makan”, karena memang pada hari Idulfitri umat Islam diharamkan berpuasa. Idulfitri bukan kembali kepada kesucian, tetapi merayakan kemenangan dan kebahagiaan dengan menikmati kembali makanan dan minuman setelah berpuasa seraya bertakbir, bertahmid, bertasbih, bertahlil, bersilaturrahim, dan saling memaafkan. (Dr. H. Khoirul Huda Basyir, LC., M.Si, 2025)

Namun, dalam praktiknya, pemaknaan lain yaituaudah ila al-fithrah  atau kembali kepada fitrah pun sering kali terdistorsi oleh tuntutan sosial dan budaya yang mengedepankan aspek materialistis. Kita perlu mempertanyakan: apakah Idulfitri benar-benar menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan, atau justru menjadi ajang pemborosan yang berujung pada krisis finansial bagi banyak orang?

Idulfitri dan Beban Finansial

Tradisi membeli baju baru, menyiapkan hidangan mewah, dan memberikan angpao menciptakan suasana meriah, tetapi di balik keceriaan tersebut terdapat tekanan sosial yang mendorong individu untuk berbelanja melebihi kemampuan. Ini menciptakan siklus konsumsi yang tidak berkelanjutan, di mana banyak orang terjebak dalam utang untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis. Idulfitri seharusnya menjadi momen refleksi dan syukur, tetapi malah bertransformasi menjadi ajang pamer kekayaan dan status sosial.

Krisis keuangan yang dialami banyak orang menjelang Idulfitri bukanlah hal baru. Data menunjukkan bahwa permintaan terhadap pinjaman online meningkat tajam menjelang hari raya, menunjukkan bahwa banyak individu terpaksa meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan yang seharusnya tidak menjadi beban. Kita perlu mempertimbangkan kembali nilai-nilai yang kita anut: apakah kita lebih menghargai penampilan luar atau makna sejati dari Idulfitri itu sendiri?

Kemakmuran dan kesejahteraan seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak barang yang kita miliki atau seberapa besar pesta yang kita adakan. Sebaliknya, kesejahteraan sejati terletak pada kemampuan kita untuk berbagi, saling mendukung, dan menciptakan komunitas yang harmonis. Idulfitri seharusnya menjadi waktu untuk memperkuat ikatan sosial, bukan untuk menciptakan jurang antara yang mampu dan yang tidak.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengubah paradigma dalam merayakan Idulfitri. Mari kita kembali pada esensi hari raya ini, yaitu berbagi kebahagiaan dan memperkuat tali persaudaraan. Kita bisa memulai dengan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan lebih fokus pada kegiatan yang memperkuat hubungan dengan keluarga dan masyarakat, seperti mengadakan acara buka puasa bersama, menyumbangkan sebagian rezeki kepada yang membutuhkan, atau sekadar menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terkasih.

Dengan cara ini, Idulfitri tidak hanya akan menjadi momen yang mengesankan, tetapi juga langkah menuju kemakmuran dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mari kita jadikan Idulfitri sebagai momentum untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita pegang, dan berkomitmen untuk merayakannya dengan cara yang lebih bermakna dan berkelanjutan. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa Idulfitri tidak hanya menjadi hari raya yang meriah, tetapi juga hari raya yang membawa berkah bagi semua.

Penulis: Mohamad Romli, Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Tangerang, Redaktur di TangerangDaily.id (*)

LAINNYA