Fragmen Partitur Sheema Azizam — Atma Drackonia

waktu baca 2 menit
Sabtu, 23 Jan 2021 09:24 0 45 Redaksi TD

/Adagio/

Ketukan jemarimu, Azizam, mengabarkan apa saja yang dimatangkan zaman: tentang gadis-gadis kecil dan anggur peraman, tentang kastil-kastil dan senyum perempuan, tentang permadani dan kubah Isfahan. Tapi tak pernah tentangku—atau untukku.

Ia persentuhan takzim dan cintamu pada bentangan musim. Ia persemaian benih musim yang lain—yang hanya turun di Persia—bukan musimku. Ada hujan juga di sana, di Persiamu. Tapi hujan yang beringas, yang tak sudi sisakan ruang bagi langitku.

Dalam kuplet yang kaumainkan, sesekali kudengar sekeping denting memanggilku: semacam getar haru di bibir Jamsyid, semacam gema yang lamat-lamat mengulang namaku. Tapi segera kutahu, litani itu tak menyebutku—atau tentangku: sekadar disonansi dalam improvisasi.

/Accelerando/

Birama yang kaubunyikan, Azizam, selalu berkisah tentang apa saja yang dikabarkan cuaca. Sebagian getarnya hanyut dalam cemas yang deras, sebagian tertahan desah yang rebah; sebagian membidas ke ufuk arasy, sebagian terjun ke jurang majnun. Tapi tak pernah ke arahku—atau menujuku.

Beribu kali kuredam hasrat saat Hafiz dan Firdausi tertawakan bodohku: kupuja kesunyian di sayap Simurgh, kepasrahan di jubah Sorush— kesunyian yang tak dikenal refrein yang kaunyanyikan, kepasrahan yang tak dikenal titi nada lantunan. Semacam angan yang berujung kesia-siaan.

Di sinilah jiwa memunguti kepedihan, menyimpannya dalam tabung ingatan. Di sini juga kegelisahan berloncatan lepaskan diri dari kekangan. Pikiran-pikiran liar dan banal berlarian— berterusan, berkejaran, sebagai akselerando yang memuncak dalam konserto.

/A tempo/

Lembut. Perlahan. Ketukan jemarimu, Azizam, menceritakan apa saja yang dicatat keabadian: tentang angkasa Persepolis yang hangat seperti pelukan, tentang ibu yang tiupi luka, tentang ketabahan yang lunakkan duka, juga tentang nyeri yang terlipat di halaman Musibatnama. Tapi tak pernah tentang sepiku, tentang sansaiku.

Di sana engkau telaga bagi setiap lelah. Di sini aku Hudhud diringkus resah. Sedang Parviz kirimkan badai kegilaan ke dalam puisiku, merebut wilayah-wilayah dalam bingkai wajahmu—lalu menandainya dengan genangan mimpi. Titahnya pasti: pencinta sejati siap mati berkali-kali.

Karena selalu ada yang enggan disingkirkan: sepotong pilu, segenggam cemburu, seonggok nafsu, juga sebilah sembilu yang semakin nyaman membuat sarang di jantungku, lalu bersemayam di sel otakku—meski bagimu mungkin sekadar impromptu.

/Tranquillo/

Hanya dalam heninglah kudengar bisikmu: “Tahukah kau, Azizam? Apa saja ditelan waktu. Yang kekal hanya rindu.”

AD

Berita Banten, Berita Tangerang, Berita Kota Tangerang, Berita Kabupaten Tangerang, Berita Tangsel: Tangerang Daily plant ornament

LAINNYA