Feminisme di Era Digital: Cara Gen Z Memperjuangkan Kesetaraan Gender

waktu baca 4 minutes
Selasa, 10 Jun 2025 20:52 0 Patricia Pawestri

FILSAFAT | TD – Gerakan feminisme di era digital hadir semakin dekat melalui ruang-ruang online. Mulai dari kampanye tagar #BodyPositivity, atau diskusi tentang toxic masculinity. Hingga unggahan selebritas yang mendeklarasikan diri sebagai feminis. Dengan ini, wacana kesetaraan gender telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian anak muda yang kerap memanfaatkan media sosial.

Di kalangan Gen Z, feminisme bukan lagi isu terpinggirkan, melainkan justru menjadi bagian dari identitas dalam budaya populer. Namun, sebuah pertanyaan penting kemudian muncul. Yakni, apakah feminisme di era media sosial ini sekadar tren yang viral (FOMO)? Atau menjadi gerakan yang benar-benar mampu mendorong perubahan budaya?

Tantangan dalam Perkembangan Gerakan Feminisme di Indonesia

Secara historis, feminisme merupakan gerakan sosial dan politik. Tujuannya memperjuangkan kesetaraan gender, dan membongkar struktur patriarki yang menindas perempuan serta kelompok-kelompok marjinal lainnya.

Teori feminisme berkembang melalui beberapa gelombang. Mulai dari feminisme gelombang pertama yang fokus pada hak suara perempuan. Hingga feminisme gelombang keempat yang bercirikan penggunaan media digital sebagai alat perjuangan.

Konsep popular feminisme telah banyak dibahas oleh akademisi. Salah satunya, Sarah Banet-Weiser yang memperkenalkan konsep popular feminism. Yakni bentuk feminisme di era digital yang tersebar melalui media populer dan platform online. Dalam penjelasannya yang lebih lanjut, feminisme pada era ini mempunyai dua sisi. Pertama, feminisme menjadi lebih mudah diakses dan dikenali. Kedua, timbulnya kekhawatiran bahwa feminisme digital dapat kehilangan kedalaman politiknya, sehingga terjebak dalam komodifikasi.

Di Indonesia, kampanye seperti #AkuPerluFeminisme menjadi contoh bagaimana feminisme digital mampu membangun kesadaran publik. Contoh lainnya yaitu #StopCatcalling, yangbersama edukasi mengenai konsep consent menjadi perhatian di platform TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Dalam hal ini, komunitas online dan akun-akun edukatif turut berkontribusi dalam menyebarluaskan pengetahuan seputar isu gender.

Isu ketaksetaraan gender sangat disadari ada dalam pengalaman sehari-hari anak muda masa kini. Dan, pemahaman akan kesetaraan gender, yang menjadi inti dari perjuangan feminisme, menjadi hal yang semakin dibutuhkan. Ketika anak muda menghadapi standar kecantikan yang toksik, pengalaman cat calling, diskriminasi di ruang publik, sistem upah yang tak setara antara lelaki dan perempuan, feminisme dapat menjadi pisau bedah untuk menguraikan masalah dan mencari solusi paling adil.

Salah satu ujung pisau bedah pemikiran arus utama feminisme, yakni feminisme interseksional,  memberikan pemahaman bahwa perjuangan kesetaraan gender secara nyata berkaitan erat dengan isu ras, kelas, orientasi seksual, dan kemampuan. Hal ini merupakan pengembangan pemikiran dari tokoh feminisme Bell Hooks dan Nancy Fraser.

Permasalahan lainnya yang menjadi tantangan bagi para anak muda feminis adalah fenomena performative activis . Aktivisme seorang feminis seringkali hanya sebatas unggahan di media sosial. Artinya, pemikiran feminis ternyata menjadi slogan tanpa aksi nyata. Hal ini banyak dilakukan oleh mereka yang ingin menciptakan kesan bahwa dirinya memahami dan berkomitmen dengan ideologi feminis. Tujuannya agar dirinya menjadi populer, keren, dan tak ketinggalan arus utama intelektualitas (FOMO).

Di sisi lainnya, problem pelik muncul sebagai penolakan terhadap gerakan feminisme. Salah satu resistensi yang muncul adalah narasi antifeminis. Dalam narasi pelik ini, ada stereotip yang melekat pada seorang feminis. Yakni selalu membenci laki-laki, atau selalu ingin mendominasi dunia lebih dari laki-laki. Hal ini semakin parah dengan disinformasi berupa berita-berita pelintiran senada.

Peran Media Digital dalam Mendorong Feminisme di Era Digital

Para feminis di era digital memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan budaya yang lebih positif. Misalnya dengan memanfaatkan kekuatan jejaring media sosial, Gen Z yang memiliki pemikiran feminis dapat menciptakan ruang diskusi yang inklusif dan memberdayakan. Peran media digital mempunyai daya yang kuat untuk memperkuat gerakan sosial . Kampanye online telah membantu membuka percakapan yang dulu tabu. Misalnya kekerasan berbasis gender, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan dalam relasi personal.

Namun, untuk mewujudkan perubahan budaya yang nyata, gerakan feminisme di kalangan Gen Z perlu melompat keluar dari sekadar ruang digital. Penting bagi generasi muda untuk mengembangkan pemikiran kritis terhadap sejarah dan teori feminisme, serta terlibat dalam aksi kolektif di dunia nyata. Selain itu, perlu ada kesadaran bahwa feminisme bukanlah gerakan individual semata, melainkan gerakan politik kolektif yang bekerja demi perubahan struktural.

Masa Depan Feminisme di Era Digital

Feminisme di era digital menawarkan peluang besar bagi gerakan kesetaraan gender di Indonesia. Melalui platform media sosial, isu-isu feminis kini dapat menjangkau khalayak yang lebih luas dan beragam. Namun, tantangan tetap ada: feminisme harus dijaga dari risiko menjadi tren kosong, dan harus terus diperkuat melalui edukasi, pengorganisasian, dan aksi nyata.

Anak muda seperti kalangan Gen Z memiliki peran penting dalam membentuk masa depan feminisme di Indonesia. Dengan menggabungkan kekuatan media digital dengan komitmen politik yang substansial, maka gerakan feminisme dapat berkembang sebagai gerakan perubahan budaya yang benar-benar inklusif, berkelanjutan, dan transformatif.

Penulis: Nadia Suci Ramadhanita. Mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Editor: Patricia.

Referensi:

Banet-Weiser, S. (2018). Empowered: Popular Feminism and Popular Misogyny.

Mudzakkir, A. (2021). Feminisme sebagai Kritik Kapitalisme: Memperkenalkan Teori Kritis Nancy Fraser. Jurnal Ledalero, 20(2), 235-257.

McRobbie, A. (2009). The Aftermath of Feminism.

Hooks, Bell. (2000). Feminism is for Everybody.

Komnas Perempuan. Laporan Tahunan Kekerasan Berbasis Gender.

 

LAINNYA