Ilustrasi (Foto: Gambar dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan/Freepik)OPINI | TD — Manusia modern hidup dalam paradoks: semakin banyak tahu, tetapi semakin kehilangan arah. Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, muncul pertanyaan lama yang kembali menggema — mengapa manusia yang tahu kebaikan masih juga melakukan kejahatan? Pertanyaan Socrates ini bukan sekadar renungan kuno, melainkan panggilan etis yang menantang dunia modern untuk menyatukan pengetahuan dan kebajikan.
Percepatan modernitas telah membawa manusia pada kemajuan luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun di balik pencapaian itu, muncul paradoks besar: manusia semakin cerdas secara intelektual, tetapi justru kehilangan arah moral. Fenomena korupsi, kekerasan sosial, hingga perundungan di kalangan remaja menggambarkan jurang yang lebar antara pengetahuan dan kebajikan (Nurdiana, 2023).
Krisis ini menegaskan satu hal penting—pendidikan yang hanya menekankan kecerdasan kognitif tidak cukup untuk membentuk karakter. Manusia modern bisa tahu mana yang benar, tetapi belum tentu mau dan mampu melakukannya. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa manusia yang mengetahui kebaikan masih juga melakukan kejahatan?
Pertanyaan klasik inilah yang menjadi pusat refleksi filsuf Yunani kuno, Socrates. Bagi Socrates, akar dari semua kejahatan bukanlah niat jahat, melainkan ketidaktahuan terhadap kebaikan sejati. Pandangan ini menjadi dasar dari salah satu ajaran moral paling berpengaruh dalam sejarah filsafat: etika kebajikan (virtue ethics).
Socrates memandang bahwa pengetahuan dan kebajikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kalimat terkenalnya, “Virtue is knowledge” — kebajikan adalah pengetahuan yang hidup dalam jiwa manusia (Brickhouse & Smith, 2010). Artinya, seseorang yang sungguh memahami apa itu kebaikan tidak mungkin berbuat jahat, sebab pengetahuan sejati menuntun manusia menuju tindakan yang benar.
Bagi Socrates, kejahatan hanyalah buah dari ketidaktahuan. Prinsipnya, “No one does wrong willingly” — tidak ada orang yang berbuat jahat dengan sengaja (Vlastos, 1991). Ini menjadi dasar dari intellectualism moral, keyakinan bahwa akar moralitas terletak pada rasio manusia.
Berbeda dari kaum Sofis yang menganggap kebenaran bersifat relatif, Socrates menegaskan bahwa kebaikan bersifat universal dan dapat ditemukan melalui akal budi (logos). Dengan berpikir jernih dan reflektif, manusia dapat menemukan kebenaran moral yang tidak tergantung pada opini atau kepentingan pribadi (Reeve, 2017).
Dalam filsafat Socrates, pengetahuan bukan sekadar kumpulan informasi, melainkan refleksi batin yang melahirkan kesadaran moral. Proses pencarian kebenaran melalui dialog (elenchus) bukan hanya latihan logika, tetapi juga sarana penyucian jiwa. Melalui tanya-jawab yang mendalam, seseorang menyadari keterbatasan dirinya, dan dari kesadaran itulah kebijaksanaan lahir.
Etika Socratic bersifat ontologis, karena berakar pada hakikat manusia sebagai makhluk berakal. Pengetahuan sejati tidak hanya membuat manusia pintar, tetapi juga menjadikannya baik. Dengan mengenal kebenaran, manusia belajar mengenal dirinya sendiri — sebagaimana ajaran legendaris di kuil Delphi: “Know thyself.”
Bagi Socrates, inti kemanusiaan terletak pada jiwa (psyche). Jiwa adalah pusat kesadaran moral dan sumber kebajikan. Maka, merawat jiwa berarti menumbuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan agar manusia hidup selaras dengan kebaikan (Suseno, 1991).
Kesehatan jiwa, dalam pandangan Socrates, jauh lebih penting daripada kesehatan tubuh. Keburukan sejati bukanlah penderitaan fisik, tetapi kebusukan moral yang lahir dari keserakahan dan ketidaktahuan. Karena itu, pendidikan moral harus diarahkan untuk menumbuhkan refleksi diri dan kesadaran rasional, bukan sekadar kepatuhan pada aturan eksternal (Rohman, 2022).
Ajaran etika kebajikan Socrates terasa semakin relevan di tengah dunia modern yang dikuasai teknologi, informasi, dan kompetisi materialistik. Masyarakat modern mengetahui banyak hal, tetapi sering kali kehilangan arah moral. Pengetahuan berkembang pesat, namun kebajikan tidak selalu mengikuti.
Dalam situasi ini, Socrates menawarkan solusi yang sederhana tapi mendalam: mengembalikan moralitas pada pengetahuan dan refleksi diri. Etika Socratic mengajarkan bahwa manusia tidak cukup hanya “tahu apa yang benar”, tetapi juga harus “menghidupi kebenaran” itu dalam tindakan.
Dalam konteks pendidikan, metode dialog Socratic (Socratic dialogue) dapat dijadikan model pembelajaran etika yang menumbuhkan kesadaran moral melalui berpikir kritis. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak individu cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk pribadi yang memiliki phronesis (kebijaksanaan praktis) dan integritas moral (Siregar, 2021).
Dalam ranah politik dan kepemimpinan, ajaran Socrates menjadi peringatan keras: “The unexamined life is not worth living.” Pemimpin sejati bukan yang pandai berkuasa, tetapi yang berani merefleksikan diri dan mengutamakan kebaikan bersama. Etika Socratic menuntut agar kekuasaan dijalankan dengan kesadaran moral, bukan dengan ambisi atau manipulasi (Santosa, 2022).
Etika kebajikan Socrates mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak lahir dari kesenangan material, tetapi dari kehidupan yang diperiksa dan dijalani dengan kesadaran moral. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, refleksi diri menjadi bentuk perlawanan terhadap kekosongan makna.
Pengetahuan tanpa kebajikan hanyalah alat kekuasaan. Sebaliknya, kebajikan tanpa pengetahuan akan kehilangan arah. Socrates mengingatkan bahwa keduanya harus berjalan seimbang agar manusia dapat hidup secara bijaksana dan beradab.
Dengan meneladani semangat Socrates—berani berpikir, berani mempertanyakan, dan berani hidup benar—manusia modern dapat membangun kembali kesadaran etis yang hilang di tengah hiruk-pikuk kemajuan zaman.
Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W. D. Ross, n.d.
Brickhouse, Thomas C., and Nicholas D. Smith. Socratic Moral Psychology. Cambridge University Press, 2010.
Fine, Gail, editor. The Oxford Handbook of Plato. Oxford University Press, 2008.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Translated by Soejono Soemargono, Tiara Wacana, 2004.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, 2010.
Kleden, Ignas. “Pengetahuan dan Kebajikan dalam Tradisi Etika Klasik.” Jurnal Filsafat, vol. 31, no. 2, 2021, pp. 145–162.
Kusmana, Asep. “Etika Kebajikan dalam Pemikiran Filsafat Klasik.” Jurnal Filsafat dan Teologi, vol. 28, no. 1, 2018, pp. 55–70.
MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theory. 3rd ed., University of Notre Dame Press, 2007.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius, 1987.
Mangunhardjana, A. Isme-Isme dalam Etika dan Filsafat Moral. Kanisius, 2012.
Plato. Apology; Meno; Protagoras. Teks klasik tersedia online di Perseus / Scaife / MIT Classics, n.d.
Reeve, C. D. C. Socrates in the Apology: An Essay on Plato’s Apology of Socrates. Hackett Publishing, 1989.
Vlastos, Gregory. Socrates: Ironist and Moral Philosopher. Cornell University Press, 1991.
Penulis: Nazwa Alya Putri Natasya
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Artikel ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat I, dengan dosen pengampu: Fajar Aditya Nugraha, M.I.Kom. (*)