Ekologi yang Terkorbankan: Raja Ampat dan Wajah Baru Ekstraktivisme

waktu baca 5 minutes
Jumat, 20 Jun 2025 06:54 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Di balik narasi transisi energi, pulau-pulau kecil di Raja Ampat terancam menjadi korban tambang nikel. Suara masyarakat adat nyaris tak terdengar. Sementara, negara membuka jalan bagi korporasi. Ketika tanah leluhur jadi komoditas, siapa sebenarnya yang dilindungi?

Suara Masyarakat Adat yang Terpinggirkan oleh Negara

Pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini menjadi target ekspansi tambang nikel. Sejak 2020 hingga 2024, luas area konsesi tambang meningkat hampir tiga kali lipat. Di balik narasi transisi energi, kerusakan ekologis mengintai. Hutan lindung digantikan jalan hauling yang penuh debu dan lumpur sisa pengerukan. Terumbu karang sebagai penyangga utama ekosistem luruh pelahan akibat sedimentasi.

Dan, yang paling menyakitkan adalah suara masyarakat adat yang mengeluh nyaris tak terdengar. Komunitas adat yang telah menjaga tanah dan laut secara turun‑temurun menjadi pihak paling dirugikan. Mereka bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga identitas kultural. “Tambang bukan solusi, tapi jalan menuju krisis identitas,” kata Elon Salomo Moifilit, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN).

Fokus utama berada di Raja Ampat sebagai salah satu kawasan dengan biodiversitas laut terkaya di dunia. Tapi kekayaan itu kini dikompromikan atas nama investasi dan industrialisasi. Ironisnya, di wilayah yang diakui dunia sebagai warisan kemanusiaan ini, negara justru membuka jalan bagi korporasi.

Lonjakan konsesi mulai terjadi intens sejak 2020. Data Auriga Nusantara dan Associated Press menunjukkan tren kenaikan tajam hingga 2024. Ini bukan perubahan mendadak, melainkan bagian dari agenda panjang ekstraktivisme nasional.

Data Menunjukkan Perusahaan Tambang Selalu Melanggar Aturan

Pada 10–11 Juni 2025, pemerintah pusat akhirnya mengambil langkah ‘penertiban’. Empat izin usaha pertambangan nikel resmi dicabut. Yakni dari PT Kawai Sejahtera Mining (5.922 ha, Pulau Kawei), PT Mulia Raymond Perkasa (2.193 ha, Pulau Manyaifun–Batang Pele), PT Anugerah Surya Pratama (±1.173 ha, Pulau Manuran), dan PT Nurham (±3.000 ha, Yesner Waigeo Timur). Audit Kementerian Lingkungan Hidup menemukan pelanggaran serius dalam operasional perusahaan-perusahaan tersebut. Mulai dari deforestasi di atas hutan lindung, sedimentasi yang menutup karang, hingga kegiatan penambangan yang melebihi batas izin.

Kementerian menegaskan akan menempuh jalur administrasi, perdata, bahkan pidana. Namun satu perusahaan tetap bertahan: PT Gag Nikel, pemegang kontrak karya seluas 13.136 ha (lebih dari dua kali luas Pulau Gag). Status Kontrak Karya sebagai payung hukum warisan Orde Baru membuatnya kebal dari pencabutan seketika. Aktivis Greenpeace dan JATAM khawatir pencabutan empat IUP hanya kosmetik; preseden gugatan perusahaan di masa lalu sering kali memulihkan izin mereka. Gugatan serupa diperkirakan telah disiapkan, mengancam membalikkan keputusan pemerintah.

Temuan lapangan oleh Mongabay menunjukkan bahwa kerusakan terumbu karang dan deforestasi masih berlangsung, bahkan di Pulau Gag yang terklaim “minimal pelanggaran”. Deforestasi untuk akses jalan tambang sudah terlihat jelas pada citra satelit. Sedimentasi terus menutup permukaan karang, merusak habitat lobster, ikan karang, dan sumber protein utama masyarakat pesisir.

Pertumbuhan Ekonomi Tidak Seiring dengan Keutuhan Ekosistem

Di balik angka pertumbuhan ekonomi, ada keretakan sosial dan ekologis yang jarang terliput. Studi Formosa Journal mencatat bahwa pendapatan lokal memang meningkat, tetapi diiringi degradasi lingkungan dan hilangnya stabilitas komunitas. Ekonom Amartya Sen telah menegaskan, pembangunan bukan hanya soal angka, melainkan tentang kemampuan manusia menjalani hidup yang bermakna.

Kasus Tambang Nikel Raja Ampat Gambaran Kegagalan Politik Representasi Indonesia

Situasi ini bukan hanya soal tambang. Ini soal bagaimana negara memahami peran dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Dalam tradisi kontrak sosial John Locke dan Jean‑Jacques Rousseau, negara lahir dari kesepakatan untuk melindungi hak dasar warganya. Termasuk hak atas tanah, kehidupan, dan kebebasan. Tetapi di Raja Ampat, negara justru memberi jalan korporasi untuk menguasai tanah adat tanpa persetujuan utuh masyarakat lokal. Bila negara tak lagi menjalankan mandat perlindungan, maka kontrak sosial itu cacat secara moral maupun politik.

Pemerintah berdalih bahwa tambang adalah bagian dari strategi hilirisasi dan transisi energi. Namun banyak pihak menilai narasi ini menutup realitas bahwa model pembangunan masih meneruskan logika kolonial: mengorbankan wilayah pinggiran demi pusat pertumbuhan. Alih‑alih memperkuat partisipasi masyarakat, konsultasi publik hanya menjadi formalitas yang menjustifikasi keputusan yang sudah tetap.

Isu tambang di Raja Ampat adalah cermin kegagalan politik representasi. Ketika suara rakyat terabaikan, ketika tanah adat menjadi komoditas, dan ketika pemerintah lebih mendengar investor daripada masyarakat, kita harus bertanya ulang, demokrasi ini milik siapa?

Kesimpulan

Raja Ampat bukan milik negara, bukan milik perusahaan, dan bukan pula milik investor asing. Raja Ampat adalah milik rakyatnya. Bila negara tak lagi berdiri bersama mereka, maka mempertahankan tanah dan laut bukan tindakan ekstrem melainkan adalah kewajiban moral untuk menyelamatkan masa depan.

Penulis: Nela Wahdatin, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

REFERENSI

Auriga Nusantara. (31 Januari 2025). Deforestasi tahun 2024 meningkat, hutan alam semakin kritis. Ekuatorial (Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia). Diakses 19 Juni 2025, dari https://siej.or.id/id/ekuatorial/deforestasi-tahun-2024-meningkat-hutan-alam-semakin-kritis

Muazam, A. R., & Maulana, I. (2025, 11 Juni). Cabut 4 izin tambang nikel Raja Ampat dan ancaman hukum, bagaimana pulau lain? Mongabay Indonesia. Diakses 19 Juni 2025, dari

https://mongabay.co.id/2025/06/11/cabut-4-izin-tambang-nikel-raja-ampat-dan-ancaman-hukum-bagaimana-pulau-lain/

Moifilit, S. (2025, 2 Juni). Pemuda Adat tolak ekspansi pertambangan nikel di Raja Ampat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Diakses 19 Juni 2025, dari https://aman.or.id/news/read/2105

Silaban, M. R., & Aqidah, M. J. (2020). Pemikiran Filsafat Politik Abad Modern (Thomas Hobbes, Jhon Locke, Mostequie Dan Jean-Jacques Rousseau). Filsafat Hukum, 6(1), 2.

LAINNYA