Dua Nafas di Jantung Urban: Ketahanan Spiritual Sunda dan Betawi Menghidupi Jiwa Kota Tangerang

waktu baca 4 minutes
Senin, 3 Nov 2025 15:20 0 Redaksi

TRADISI | TD — Tangerang terus tumbuh sebagai kota urban yang sibuk dan berwajah global. Namun, di balik laju modernisasi, dua komunitas lokal—Sunda Banten dan Betawi—menemukan cara unik untuk menjaga warisan leluhur. Lewat program digital, podcast edukatif, hingga ritual adat yang beradaptasi, mereka menghadirkan wajah baru budaya yang hidup di era serba cepat.

Era Edukasi Digital dan Warisan Budaya Lokal

Memasuki tahun 2025, arus migrasi di wilayah urban seperti Tangerang tidak hanya mengalirkan manusia, tetapi juga membawa masuk budaya global yang tersimpan di “saku digital” setiap individu. Dalam pusaran perubahan ini, dua etnis besar—Sunda Banten dan Betawi—menyadari bahwa mempertahankan jati diri budaya tidak lagi cukup dilakukan di sanggar seni atau balai adat. Pertahanan budaya harus menyesuaikan zaman, masuk ke ruang digital, dan menyentuh generasi muda melalui pendidikan.

Sunda Banten: Menanam Nilai Luhur di Dunia Digital

Seren Taun Cisungsang — ritual syukur masyarakat adat Sunda Banten atas panen dan kehidupan. Denting angklung, aroma padi, dan doa leluhur berpadu dalam perayaan yang meneguhkan harmoni manusia dengan alam. (Foto: ppid.serangkota.go.id)

Suku Sunda Banten menjawab tantangan tersebut dengan semangat Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh—saling menyayangi, mengasah ilmu, dan mengasuh sesama. Dari semangat ini lahirlah program “Galeri Virtual Pusaka Banten”, sebuah inovasi yang menjembatani tradisi dengan teknologi.

Program ini tidak hanya menampilkan artefak budaya seperti Debus (simbol ketahanan spiritual) dan Kujang (lambang kehormatan dan jati diri Sunda), tetapi juga menyajikan modul pembelajaran interaktif. Melalui aplikasi sekolah di Tangerang, pelajar—baik asli maupun pendatang—dapat memahami filosofi hidup orang Sunda secara menarik dan relevan dengan gaya belajar digital masa kini.

Dengan pendekatan ini, Sunda Banten tidak sekadar mempertahankan warisan, tetapi mengubahnya menjadi sumber pembelajaran kontekstual yang menumbuhkan kebanggaan budaya di tengah modernitas.

Betawi: Tradisi, Tawa, dan Transformasi Digital

Sementara itu, komunitas Betawi Tangerang memilih jalur berbeda: menjadikan humor dan dialog sebagai pintu masuk untuk memperkuat nilai-nilai sosial di dunia digital. Melalui Lenong dan Gambang Kromong versi modern, mereka menghadirkan podcast dan vlog edukasi bertema “Dialog Betawi-Sunda”—konten yang ringan, lucu, tetapi sarat makna tentang etika bertetangga di kota yang majemuk.

Nilai-nilai seperti Ora Ngapak Ora Kepenak (tidak berterus terang, tidak enak) dan Jaga Marwah (menjaga harga diri) diselipkan dalam setiap sketsa komedi digital. Hasilnya, tradisi Betawi yang dulu hanya hidup di panggung kampung kini viral di media sosial dan menjadi bahasa universal baru bagi warga urban Tangerang.

Inovasi Adat di Tengah Ruang Publik yang Heterogen

Ketahanan spiritual kedua suku ini tidak hanya terlihat di dunia maya, tetapi juga diuji dalam kehidupan sosial sehari-hari yang semakin majemuk. Namun, baik Sunda maupun Betawi membuktikan bahwa adat bisa beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya.

Pernikahan sebagai Wajah Akulturasi

Ritual Palang Pintu Betawi dan Seserahan Sunda Banten kini berkembang menjadi simbol persatuan budaya. Dalam pernikahan lintas-suku—seperti Betawi-Jawa atau Sunda-Batak—komunitas adat menawarkan “Paket Adat Hybrid”, yang memadukan elemen dari dua tradisi. Tradisi ini bukan sekadar seremoni, tetapi juga manifestasi harmoni dan fleksibilitas budaya lokal dalam merangkul keberagaman warga Tangerang.

Rukun Warga dan Oase Kerukunan

Di tingkat akar rumput, nilai Ngariung (berkumpul) dari Sunda dan Gotong Royong khas Betawi tetap hidup dalam kegiatan arisan RW, kerja bakti, hingga perayaan hari besar. Acara ini berfungsi sebagai “filter sosial” yang memperkenalkan pendatang pada tata krama lokal, serta menghidupkan kembali semangat kebersamaan di tengah hiruk pikuk kota.

Kegiatan sederhana ini menjadi oase kerukunan yang menjaga spiritualitas kolektif masyarakat urban—menunjukkan bahwa di balik gedung tinggi dan jalan tol, denyut sosial Tangerang tetap berdetak dengan kehangatan lokal.

Dua Nafas yang Menyatu di Jiwa Kota

Melalui perpaduan inovasi digital dan kehangatan komunal, Suku Sunda Banten dan Betawi membuktikan bahwa kearifan lokal bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan kompas moral masa depan.

Mereka tidak hanya bertahan di tengah arus globalisasi, tetapi menjadi pemandu kultural bagi warga pendatang, mengajarkan nilai adab, toleransi, dan gotong royong. Di tengah wajah Tangerang yang kian global, dua nafas spiritual ini terus menghidupi jiwa kota—menjadikannya bukan sekadar ruang urban, tetapi rumah bagi keberagaman yang berakar pada kebijaksanaan lokal.

Penulis: Nisrina Syifaun Nasywa
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA