OPINI | TD — Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan momentum penting di mana rakyat Indonesia memiliki hak untuk memilih calon anggota legislatif hingga pemimpin negara atau presiden. Pemilu berlandaskan pada asas langsung, umum, bebas, jujur, dan adil, yang merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai inti dari negara demokrasi, Pemilu membangun pondasi kekuasaan dalam sistem demokrasi. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran sering terjadi menjelang hari pemungutan suara, salah satunya dalam bentuk praktik politik uang.
Praktik politik uang menjadi salah satu pelanggaran yang paling mencederai demokrasi di Indonesia. Tragisnya, bagi banyak politikus, uang seakan menjadi syarat wajib untuk meraih kemenangan, sementara bagi sebagian besar pemilih, praktik ini dianggap wajar dan tak terhindarkan. Jika dibiarkan, budaya ini akan menggerogoti makna dan arti sejati dari demokrasi. Money politic ini telah menjadi masalah serius yang menghantui proses pemilihan umum di Indonesia. Laporan pelanggaran pemilu sering kali menyoroti politik uang, khususnya pada tahapan kampanye hingga perhitungan suara.
Politik uang membawa dampak negatif yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Jika dibiarkan, hal ini akan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, baik masyarakat maupun negara, dan dapat memunculkan berbagai masalah baru akibat praktik ini. Berikut adalah beberapa dampak dari politik uang:
Salah satu dampak langsung yang dihadapi pelaku politik uang adalah sanksi hukum. Dalam pemilu, praktik politik uang merupakan pelanggaran yang dapat dikenakan pidana penjara dan denda. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara minimal 2 tahun dan denda sebesar Rp24.000.000,00, sedangkan hukuman maksimalnya mencapai 4 tahun penjara dan denda Rp48.000.000,00. Sanksi ini berlaku bagi panitia, calon, serta tim kampanye selama masa kampanye dan pada hari pemungutan suara.
Politik uang berpotensi menyebabkan kerusakan pada manajemen pemerintahan. Oknum yang terpilih melalui praktik politik uang cenderung lebih mengutamakan kepentingan donator dibandingkan kepentingan rakyat. Hal ini menciptakan situasi di mana pemilih tidak memiliki kekuatan untuk menilai integritas calon kandidat, kecuali dengan menjual suara mereka kepada yang menawarkan harga tertinggi. Jabatan yang diperoleh melalui transaksi ini tidak lahir dari perdebatan ide dan gagasan yang valid, melainkan dari proses yang tidak sehat, sehingga menciptakan ketidakstabilan dalam sistem pemerintahan dan kebijakan yang pro terhadap rakyat.
Respon masyarakat terhadap politik uang terbagi menjadi dua kelompok: mereka yang menerima dan mereka yang menolak. Perbedaan sikap ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat pengetahuan dan kondisi ekonomi. Tingkat pengetahuan diukur dari kemampuan mengakses informasi melalui pendidikan, media, atau internet, sementara kondisi ekonomi berhubungan dengan kebutuhan individu akan uang atau materi untuk bertahan hidup.
Selain itu, politik uang tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga dapat berupa barang atau layanan yang dibutuhkan masyarakat, yang dihadirkan dalam interaksi dengan pemilih. Praktik ini menciptakan sistem yang tidak sehat, di mana suara pemilih diperdagangkan. Hal ini menimbulkan pandangan bahwa kemenangan politik dapat dicapai melalui uang atau materi, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat.
Dampak lain dari politik uang adalah penurunan kualitas calon dan kinerja pemerintah. Kandidat yang memiliki banyak uang sering kali lebih mudah mendapatkan dukungan dan memenangkan suara tanpa memperlihatkan kinerja dan kapasitas yang sesungguhnya. Jika praksis ini terungkap, reputasi mereka akan tercemar. Terdapat dua kemungkinan bagi mereka: pertama, terpilih berkat praktik politik uang; kedua, gagal meskipun sudah melakukan praktik tersebut, yang dapat mengganggu psikologis mereka hingga menyebabkan stres atau bahkan gangguan mental.
Penulis: Kina Nursyafa, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). (*)