Belajar dari Penjarahan: Ketika Kemarahan Publik Kehilangan Arah

waktu baca 4 minutes
Jumat, 17 Okt 2025 20:46 0 Redaksi

OPINI | TD — Gelombang demonstrasi yang mengguncang Jakarta sejak 25 Agustus 2025 menjadi sorotan nasional. Tuntutan masyarakat terhadap kinerja DPR yang dinilai tidak sebanding dengan besarnya tunjangan, memantik aksi besar-besaran di ibu kota. Ribuan warga—mulai dari mahasiswa, buruh, hingga aktivis sosial—turun ke jalan menuntut transparansi dan keadilan dari wakil rakyat yang dianggap semakin jauh dari aspirasi rakyat.

Namun, semangat demokrasi itu berubah arah ketika aksi damai menjelma menjadi letupan amarah kolektif. Tragedi, pernyataan kontroversial, hingga penjarahan rumah pejabat menjadi potret nyata rapuhnya komunikasi antara rakyat dan penguasa.

Dari Tuntutan Keadilan ke Gelombang Kemarahan

Aksi yang awalnya berjalan tertib berubah menjadi tragedi pada 28 Agustus 2025. Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online, tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Kematian Affan menyulut duka dan kemarahan publik. Ia menjadi simbol ketidakadilan dan wajah penderitaan rakyat kecil di tengah konflik antara aspirasi dan kekuasaan.

Solidaritas meluas ke berbagai daerah. Komunitas ojek online, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil menuntut keadilan dan tanggung jawab aparat. Namun di tengah situasi yang memanas, muncul pernyataan dari anggota DPR Ahmad Sahroni yang menimbulkan gelombang kontroversi baru. Dalam salah satu pernyataannya, ia menyebut bahwa orang yang menyerukan pembubaran DPR adalah “orang paling bodoh di dunia.”

Alih-alih menenangkan suasana, ucapan tersebut justru memperuncing kemarahan publik. Masyarakat menilai pernyataan itu sebagai bentuk arogansi dan bukti ketidaksensitifan pejabat terhadap penderitaan rakyat.

Penjarahan yang Mengaburkan Makna Perjuangan

Puncak kemarahan terjadi pada 30 Agustus 2025, ketika massa mendatangi kediaman Ahmad Sahroni. Aksi protes berubah menjadi tindakan anarkis. Rekaman video di media sosial memperlihatkan massa menjarah isi rumah: perabotan, barang elektronik, hingga dokumen pribadi. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah hilangnya koleksi pribadi berupa patung action figure Iron Man milik Sahroni—simbol betapa kemarahan bisa berubah menjadi pelampiasan buta.

Peristiwa ini memperlihatkan sisi lain dari demokrasi: ketika rasa kecewa dan kemarahan publik tidak lagi terkendali, perjuangan kehilangan arah. Apa yang awalnya dimulai sebagai tuntutan keadilan berubah menjadi tindakan destruktif yang justru mencederai nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.

Pelajaran dari Penjarahan: Antara Hak dan Tanggung Jawab

Dari peristiwa ini, ada pelajaran penting yang harus diambil—baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Pertama, bagi masyarakat, demonstrasi adalah hak demokratis, tetapi juga tanggung jawab moral. Aksi protes seharusnya menjadi ruang ekspresi yang damai, bukan ajang balas dendam sosial. Ketika kekerasan dan penjarahan mengambil alih, pesan perjuangan rakyat justru tenggelam di tengah kerusakan yang ditimbulkannya.

Kedua, bagi pemerintah, tragedi ini adalah alarm keras bahwa kepercayaan publik telah berada di titik rawan. Ketidakpuasan yang meluas menunjukkan adanya jarak emosional dan komunikasi yang kian lebar antara rakyat dan penguasa. Pemerintah serta DPR perlu membuka diri, mendengar suara masyarakat, dan menanggapi aspirasi dengan empati, bukan dengan sikap arogan atau defensif.

Ketiga, peristiwa penjarahan ini mengingatkan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Demokrasi sejati tidak hanya menuntut hak untuk berbicara, tetapi juga kewajiban untuk menjaga kedamaian dan martabat dalam bernegara.

Refleksi: Demokrasi yang Butuh Kedewasaan

Penjarahan pada 25–30 Agustus bukan hanya kisah tentang kehilangan barang, tetapi juga tentang kehilangan arah perjuangan. Ia menjadi cermin bagaimana frustrasi sosial dapat berubah menjadi kekacauan ketika tidak dikelola dengan bijak.

Rakyat perlu belajar untuk menyalurkan aspirasi secara terarah, dan pemerintah harus belajar untuk mendengar sebelum rakyat berteriak. Karena ketika suara rakyat tidak didengar, mereka bisa berbicara dengan cara yang paling keras—meski sering kali, cara itu justru melukai diri mereka sendiri.

Demokrasi tidak akan tumbuh dari amarah, melainkan dari dialog dan rasa saling menghargai. Peristiwa penjarahan ini semestinya menjadi refleksi kolektif, agar bangsa ini tidak terus mengulang luka yang sama setiap kali rakyat menuntut keadilan.

Kesimpulan

Belajar dari penjarahan berarti memahami bahwa demokrasi adalah keseimbangan antara hak dan tanggung jawab. Rakyat berhak bersuara, tetapi juga wajib menjaga ketertiban. Pemerintah berkuasa, tetapi harus siap dikritik dan terbuka terhadap koreksi.

Jika dua sisi ini bisa berjalan berdampingan, maka tragedi seperti 25 Agustus tidak akan lagi menjadi simbol kegagalan, melainkan titik balik menuju demokrasi yang lebih matang dan beradab.

Penulis: Sondang Glory Cialine
Mahasiswi Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Agung Tirtayasa. (*)

LAINNYA