OPINI | TD – Di era saat ini, di tengah maraknya globalisasi, bahasa Inggris menjadi keterampilan penting yang dinilai wajib dimiliki, bahkan semakin banyak anak di usia dini yang diajarkan bahasa Inggris sejak kecil di sekolahnya, tetapi di sisi lain masih banyak orang tua yang khawatir hal itu akan membuat si anak lupa bahasa ibunya. Misalnya, anak sejak kecil belajar bahasa Inggris, di khawatirkan akan lupa cara berbicara dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa daerahnya sendiri seperti betawi, sunda, jawa, dan lain sebagainya.
Padahal, menurut saya belajar bahasa inggris dan mempertahankan bahasa ibu bisa di jalankan secara beriringan. Pada artikel ini saya ingin meluruskan opini para orang tua yang menganggap bahwa bahasa inggris akan “mengenyampingkan” Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, padahal sebenarnya yang lebih penting adalah bagaimana cara kita mengajarkannya bisa berjalan beriringan dalam membentuk anak yang cakap berbahasa dan berwawasan luas.
Anak usia dini berada pada masa emas perkembangan bahasa. Mereka mampu menyerap lebih dari satu bahasa secara alami. Menurut penelitian, bilingualisme sejak dini justru meningkatkan kemampuan kognitif dan sensitivitas linguistik anak. Anak-anak yang belajar bahasa Inggris di usia dini tetap bisa mempertahankan bahasa ibu mereka—selama lingkungan rumah dan sekolah tetap mendukung penggunaannya. Dalam praktik pendidikan di berbagai negara maju, anak-anak diajarkan lebih dari satu bahasa tanpa kehilangan identitas bahasa pertama mereka.
Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (2012) dalam Rekayasa Literasi, yang menekankan pentingnya pendekatan fungsional dalam pembelajaran bahasa—mengajarkan bahasa dalam konteks yang bermakna, bukan sekadar hafalan. Maka dari itu, kekhawatiran bahwa Bahasa Inggris akan “mengancam” eksistensi bahasa ibu lebih bersifat mitos daripada fakta. Yang perlu dikhawatirkan bukanlah pengenalan Bahasa Inggris, melainkan kurangnya pelestarian aktif bahasa ibu dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu solusi dalam hal ini adalah menjaga keseimbangan antara pengajaran Bahasa Inggris dan pelestarian bahasa ibu atau daerah. Sekolah dapat menerapkan sistem bilingual yang proporsional, sementara orang tua tetap menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari. Guru juga perlu diberikan pelatihan khusus tentang metode pengajaran yang tidak hanya berfokus pada Bahasa Inggris namun juga membangun kesadaran budaya dan bahasa lokal. Dengan ini anak dapat tumbuh menjadi pribadi multibahasa tanpa kehilangan jati dirinya.
Mengajarkan Bahasa Inggris sejak dini tidak berarti mengorbankan bahasa ibu. Dengan pendekatan yang tepat, keduanya justru bisa saling memperkuat. Bahasa Inggris membuka jendela dunia, sementara bahasa ibu menanamkan akar identitas. Kekhawatiran bahwa bahasa Inggris akan menyingkirkan bahasa ibu seharusnya digantikan dengan upaya kolaboratif dari orang tua dan pendidik untuk merawat keduanya. Mari kita ubah cara pandang, membekali anak dengan Bahasa Inggris bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap budaya, melainkan investasi bagi masa depan mereka yang tetap berpijak pada tanah kelahiran.
Bilingualisme, atau kemampuan menguasai dua bahasa secara aktif, telah menjadi fenomena yang semakin umum di era globalisasi ini. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran bahwa penguasaan Bahasa Inggris akan mengancam eksistensi bahasa ibu, seperti Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, sebenarnya lebih didasari oleh mitos daripada fakta. Justru, bilingualisme menawarkan banyak manfaat yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga sosial, budaya, dan ekonomi.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan bilingual memiliki keunggulan dalam berbagai aspek perkembangan kognitif. Mereka cenderung lebih baik dalam mengendalikan perhatian, mengatur memori operasional, serta memiliki fleksibilitas kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak monolingual. Kemampuan untuk berpindah antar bahasa secara cepat melatih otak untuk melakukan multitasking dan pemecahan masalah secara efektif. Selain itu, bilingualisme juga dapat meningkatkan keterampilan perencanaan dan organisasi, karena anak terbiasa mengelola dua sistem bahasa yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya itu, bilingualisme sejak dini terbukti meningkatkan sensitivitas linguistik anak. Mereka menjadi lebih peka terhadap struktur bahasa, sehingga lebih mudah mempelajari bahasa ketiga di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa bilingualisme dapat memperkuat fondasi berpikir kritis dan kemampuan analitis anak.
Selain manfaat kognitif, bilingualisme juga berperan penting dalam membangun jembatan antar budaya. Dengan menguasai dua bahasa, seseorang dapat lebih mudah memahami dan menghargai perbedaan budaya, serta beradaptasi dengan lingkungan sosial yang beragam. Anak-anak bilingual cenderung memiliki empati yang lebih tinggi, karena mereka terbiasa melihat dunia dari perspektif yang berbeda.
Ilustrasi tambahan. (Foto: Freepik)
Bilingualisme juga memperkuat identitas budaya. Bahasa ibu berfungsi sebagai akar identitas dan sarana pewarisan nilai-nilai budaya, sedangkan Bahasa Inggris membuka akses ke dunia global. Dengan demikian, anak-anak bilingual tidak hanya mampu bersaing di tingkat Internasional, tetapi juga tetap bangga akan asal-usul dan budayanya sendiri.
UNESCO menekankan pentingnya pendidikan berbasis bahasa ibu dalam konteks bilingualisme. Penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar utama di sekolah memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan akademik dan sosial anak. Setelah itu, Bahasa Inggris dapat diajarkan sebagai bahasa kedua secara bertahap dan kontekstual. Pendekatan ini terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar, karena anak dapat memahami konsep-konsep dasar tanpa hambatan bahasa.
Pendidikan bilingual yang ideal adalah yang menempatkan bahasa ibu dan Bahasa Inggris secara seimbang, sehingga anak tidak kehilangan salah satu identitas bahasanya. Guru dan orang tua harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penggunaan kedua bahasa secara aktif. Misalnya, di rumah, orang tua tetap menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari, sementara di sekolah, anak mendapatkan paparan Bahasa Inggris melalui pelajaran dan aktivitas tematik.
Meskipun manfaat bilingualisme sangat besar, implementasinya tidak lepas dari tantangan. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan sumber daya, seperti kurangnya guru yang benar-benar menguasai dua bahasa dan minimnya bahan ajar yang relevan. Selain itu, masih terdapat kesenjangan akses terhadap pendidikan bilingual, terutama di daerah-daerah terpencil yang fasilitas pendidikannya terbatas. Tantangan lain adalah menjaga keseimbangan antara penguasaan bahasa ibu dan Bahasa Inggris.
Jika salah satu bahasa lebih dominan digunakan, anak bisa kehilangan kemampuan aktif dalam bahasa lainnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat, seperti membuat kurikulum yang proporsional dan memberikan pelatihan khusus kepada guru agar mampu mengelola kelas bilingual secara efektif. Pelestarian bahasa ibu tidak bisa hanya mengandalkan sekolah dan keluarga saja. Komunitas juga harus terlibat aktif, misalnya melalui kegiatan budaya, lomba pidato, atau festival bahasa daerah. Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pembelajaran bahasa berbasis AI dan multimedia, juga dapat menjadi solusi inovatif untuk menarik minat generasi muda dalam mempelajari bahasa ibu.
Penelitian terbaru menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas, dan organisasi internasional—untuk menjaga keberlanjutan bahasa ibu di tengah arus globalisasi. Dengan dukungan kebijakan yang inklusif dan program-program revitalisasi bahasa, diharapkan bahasa ibu tetap hidup dan berkembang di era modern. Menguasai dua bahasa bukan hanya soal kemampuan berkomunikasi, tetapi juga investasi bagi masa depan anak. Di dunia kerja, keterampilan bilingual sangat dihargai karena membuka peluang karier yang lebih luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, bilingualisme juga menjadi modal penting untuk membangun jejaring internasional dan memperluas wawasan global.
Namun, investasi ini tidak boleh mengorbankan identitas budaya. Bahasa ibu tetap harus dijaga dan dilestarikan, karena di sanalah nilai-nilai luhur dan sejarah bangsa tertanam. Dengan pendekatan pendidikan yang tepat, anak-anak Indonesia dapat tumbuh menjadi generasi multibahasa yang cerdas, adaptif, dan berkarakter kuat.
Bilingualisme bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkaya diri dan bangsa. Penguasaan Bahasa Inggris dapat berjalan beriringan dengan pelestarian bahasa ibu, asalkan ada komitmen dari semua pihak untuk menjaga keseimbangan tersebut. Orang tua, guru, pemerintah, dan komunitas perlu bekerja sama menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuhnya generasi bilingual yang berwawasan global tanpa kehilangan akar budaya.
Pada akhirnya, bilingualisme adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan merangkul dua bahasa, kita tidak hanya membuka pintu ke dunia, tetapi juga menjaga agar akar budaya tetap kokoh menancap di tanah kelahiran.
Penulis: Nida Amelia Triyani (Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Tangerang)
Editor: Nazwa