Antara Rindu dan Mimpi: Kisah Dua Mahasiswa Asing Merajut Masa Depan di UMT

waktu baca 3 minutes
Jumat, 31 Okt 2025 14:06 0 Nazwa

KAMPUS | TD — Pagi itu, matahari baru saja menembus celah gedung-gedung di kawasan Cikokol, Tangerang. Di halaman kampus Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), suara langkah mahasiswa berpadu dengan riuh sapaan yang akrab. Di antara keramaian itu, dua wajah tampak berbeda namun memancarkan semangat yang sama—Abdiwadud Adan dari Kenya dan Naba Rashed dari Sudan. Dua mahasiswa yang datang dari benua Afrika, meninggalkan tanah kelahiran ribuan kilometer jauhnya, untuk mengejar sesuatu yang sederhana namun bermakna: mimpi dan masa depan.

Dari Afrika ke Tangerang: Awal Sebuah Perjalanan

Bagi Adan, perjalanan menuju Indonesia berawal dari rasa ingin tahu dan tekad memperluas wawasan.

“Saya mengetahui tentang UMT melalui Kementerian Pendidikan di Kenya,” ujarnya beberapa waktu yang lalu.

“Saya memutuskan untuk mendaftar beasiswa Muhammadiyah, dan setelah itu mereka mendaftarkan saya ke UMT untuk menempuh gelar sarjana Teknik Mesin.”

Sementara itu, Naba datang dengan semangat yang sama meski harus melewati masa penyesuaian yang tidak mudah.

“Awalnya penuh dengan semangat sekaligus tantangan karena semuanya terasa baru,” tuturnya. “Saya memilih jurusan Teknik Industri karena menggabungkan cara berpikir analitis dan kreatif.”

Keduanya sepakat bahwa perjalanan ke Indonesia bukan hanya soal kuliah, melainkan langkah berani menuju kemandirian dan kedewasaan.

Menempa Diri di Negeri Orang

Kehidupan kampus di UMT memberi keduanya banyak pelajaran baru. Bagi Adan, hambatan terbesar di awal adalah bahasa.

“Bahasa Indonesia benar-benar baru bagi saya,” katanya sambil tersenyum. “Namun dengan mengikuti kelas BIPA dan bantuan teman-teman serta dosen, kemampuan saya meningkat pesat.”

Sementara Naba belajar menghadapi perbedaan dengan kesabaran.

“Pada awalnya sulit menyesuaikan diri dengan budaya dan kebiasaan baru,” ujarnya jujur. “Tapi seiring waktu, saya mulai terbiasa dan bisa menikmati prosesnya.”

Melalui diskusi kelas, kerja kelompok, dan kegiatan sosial kampus, mereka belajar bahwa dunia pendidikan tidak hanya tentang teori dan angka. Mereka menemukan makna baru dari toleransi, persahabatan, dan tumbuh bersama dalam keberagaman.

Kehangatan yang Menyentuh Hati

Di balik perjuangan akademik dan adaptasi budaya, keduanya menemukan satu hal yang sama: kehangatan orang Indonesia.

“Momen paling berkesan bagi saya adalah bagaimana orang Indonesia menyambut saya dengan hangat,” tutur Adan. “Kebaikan mereka membuat Indonesia terasa seperti rumah kedua.”

Naba pun merasakan hal yang serupa.

“Lingkungan kampus membuat saya lebih terbuka dan belajar bekerja sama dengan orang lain,” katanya. “Saya belajar pentingnya manajemen waktu dan kerja tim.”

Kini, keduanya bukan lagi sekadar mahasiswa asing. Mereka telah menjadi bagian dari keluarga besar UMT—tempat di mana mereka tumbuh, belajar, dan merajut mimpi baru bersama teman-teman lintas bangsa.

Menatap Masa Depan dengan Harapan

Perjalanan mereka di Indonesia telah menempa pribadi yang lebih kuat dan matang. Adan kini memiliki visi yang jelas untuk masa depannya.

“Saya berharap menjadi insinyur mekanik profesional dan menggunakan keterampilan saya untuk membantu mengembangkan industri di Indonesia atau Kenya,” ujarnya penuh keyakinan.

Sementara Naba menutup dengan pesan sederhana namun sarat makna.

“Kesuksesan tidak datang dengan cepat. Dibutuhkan waktu, usaha, dan ketekunan yang terus-menerus. Jangan pernah menyerah menghadapi kesulitan, karena setiap langkah kecil akan membawamu lebih dekat pada tujuanmu.”

Lebih dari Sekadar Gelar

Kisah Adan dan Naba adalah potret nyata semangat lintas benua—sebuah kisah tentang tekad, keberanian, dan persahabatan. Dari Afrika hingga Indonesia, mereka membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya soal mengejar gelar, melainkan perjalanan untuk menemukan jati diri dan makna hidup.

Di ruang kuliah UMT, di antara tumpukan buku dan diskusi hangat, dua anak muda ini menunjukkan bahwa batas geografis tak akan mampu menghalangi mimpi. Karena sejatinya, pendidikan adalah jembatan bagi siapa pun yang berani melangkah keluar dari zona nyaman dan menulis kisahnya sendiri.

Penulis: Kandah Rosul
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMT. (*)

LAINNYA