Arianti Elsa Candra. (Foto: Dok.Pribadi)OPINI | TD – Di tengah tuntutan keterbukaan publik dan percepatan digitalisasi, transparansi informasi seharusnya menjadi fondasi utama pemerintahan yang demokratis. Informasi publik bukan hanya sekadar urusan administratif, akan tetapi melainkan sebagaimana adanya hak warga negara untuk mengerti, mengawasi, dan juga menilai kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Namun dalam penerapanny, keterbukaan informasi di Indonesia masih sering berada di ujung penegakan hukum kuat secara aturan, tapi lemah dalam penerapan.
Sebagaimana yang disebutkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sudah memberikan jaminan hukum jelas atas hak warga negara mengakses informasi. Tapi sayangnya, penerapan UU ini sering bertabrakan dengan realita cara kerja birokrasi yang tertutup. Penolakan permintaan informasi dengan alasan keamanan, prosedur rumit, atau dengan adanya klaim bahwa itu “bukan kewenangan” mereka menunjukkan bahwa transparansi belum benar-benar dianggap sebagai bagian dari pelayanan publik.
Kondisi ini jelas telah menunjukkan bahwasannya isu keterbukaan informasi tidak hanya berhubungan dengan aturan, akan tetapi beruhubungan juga dengan budaya birokrasi dan sikap politik. Hukum tidak cukup jika hanya sekadar berupa teks yang normatif, melainkan juga harus berfungsi sebagai alat sosial yang benar-benar melindungi hak masyarakat. Jika tidak ada komitmen itu, transparansi bisa jadi hanya jargon yang terus diulang tanpa adanya dampak yang nyata. Ketika akses informasi dibatasi, ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan pengawasan publik pun juga ikut menyempit.
Situasi seperti ini yang pada akhirnya dapat memicu sengketa informasi publik, di mana warga, jurnalis, akademisi, dan juga organisasi masyarakat sipil terpaksa menempuh jalur hukum untuk mendapatkan informasi yang sejatinya menjadi hak dasar mereka sebuah kondisi yang ironis di tengah narasi pemerintah tentang keterbukaan dan integrasi data.
Dalam konteks inilah peran Komisi Informasi menjadi krusial. Sebagai lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa informasi publik, Komisi Informasi diharapkan mampu menjembatani kepentingan masyarakat dan badan publik melalui mekanisme mediasi dan ajudikasi non-litigasi.
Keterbukaan informasi publik di Indonesia masih berada di persimpangan antara kuatnya regulasi dan lemahnya penegakan. Aturan telah tersedia, namun birokrasi yang tertutup serta putusan sengketa yang minim daya paksa membuat hak masyarakat atas informasi kerap tersendat. Selama transparansi masih dipandang sebagai beban, melainkan bukan suatu kewajiban untuk pelayanan publik, hak untuk tahu akan terus diuji. Karena hal itu, penguatan peran Komisi Informasi, reformasi budaya birokrasi, dan juga peningkatan literasi publik menjadi suatu langkah yang mendesak agar keterbukaan informasi tidak berhenti sebagai janji demokrasi, melainkan hadir sebagai praktik yang nyata.
Penulis: Arianti Elsa Candra, Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Adab, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)