Ilustrasi: Rekayasa gambar dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI)OPINI | TD — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menjadi sorotan publik. Kebijakan pemerintah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank milik negara—Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI—menuai beragam reaksi. Secara resmi, langkah ini disebut sebagai strategi memperkuat likuiditas perbankan, menjaga stabilitas keuangan nasional, serta mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif. Namun, di balik narasi ekonomi itu, muncul pertanyaan yang lebih tajam: apakah kebijakan ini murni keputusan ekonomi, atau justru langkah politik yang penuh kalkulasi kekuasaan?
Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini merupakan langkah preventif menghadapi risiko perlambatan ekonomi global dan tekanan eksternal seperti fluktuasi suku bunga The Fed serta pelemahan nilai tukar. Dengan tambahan likuiditas Rp200 triliun, bank-bank Himbara diharapkan mampu memperluas akses pembiayaan untuk UMKM, sektor pertanian, infrastruktur, dan industri lokal.
Kebijakan ini juga mencerminkan sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter, di mana pemerintah berperan aktif menjaga roda ekonomi agar tetap berputar di tengah ketidakpastian global. Dari sudut pandang ekonomi makro, langkah ini tampak rasional: menjaga kestabilan sistem keuangan agar tidak rapuh oleh tekanan eksternal.
Namun, besarnya nominal Rp200 triliun membuat publik tak bisa menutup mata terhadap dimensi politik yang mungkin menyertai kebijakan ini. Banyak yang menilai, keputusan ini bukan semata urusan teknokratis, melainkan juga mencerminkan arah politik fiskal dan prioritas kekuasaan pemerintah.
Dalam teori kebijakan publik, fiskal bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga alat politik. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk menunjukkan kapasitas pengelolaan negara sekaligus menegaskan kontrol terhadap sistem ekonomi nasional.
Dengan menempatkan dana besar di bank-bank milik negara, Kemenkeu mengirimkan pesan politik yang kuat: pemerintah masih memegang kendali penuh atas stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan ini memperkuat citra bahwa negara hadir sebagai “penjaga utama” keuangan nasional, sekaligus mempererat hubungan strategis antara pemerintah dan BUMN sebagai perpanjangan tangan kebijakan negara.
Lebih jauh, langkah ini juga bisa dibaca sebagai upaya menjaga stabilitas politik dan ekonomi menjelang tahun fiskal baru. Dalam konteks praktis, menjaga kestabilan keuangan berarti menjaga kepercayaan publik—sebuah faktor penting bagi pemerintahan yang tengah mempersiapkan agenda besar seperti pembahasan APBN, proyek pembangunan, atau bahkan perombakan kabinet.
Dari perspektif politik, penempatan dana Rp200 triliun merupakan manuver cerdas untuk mempertahankan kepercayaan publik sekaligus mengonsolidasikan kendali terhadap sektor keuangan domestik. Dengan mengalirkan dana ke bank-bank milik negara, pemerintah memastikan bahwa sumber pembiayaan strategis tetap terkonsentrasi di institusi yang dapat dikendalikan secara langsung.
Kebijakan ini membawa dua dampak politik utama:
Namun, di balik manfaat tersebut, terselip risiko politisasi ekonomi. Setiap kebijakan besar yang melibatkan dana triliunan rupiah selalu memiliki dimensi kekuasaan—baik untuk memperkuat legitimasi pemerintahan maupun mengamankan stabilitas menjelang momentum politik penting.
Pengamat ekonomi menilai bahwa kebijakan ini perlu diiringi pengawasan ketat dan transparansi publik. Tanpa mekanisme akuntabel, dana dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan ketimpangan distribusi kredit atau bahkan moral hazard di kalangan perbankan.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa penempatan dana pemerintah di perbankan sering kali tidak terserap optimal ke sektor riil, melainkan “diparkir” sebagai cadangan likuiditas. Dalam kondisi demikian, manfaat ekonomi yang diharapkan menjadi minim, sementara risiko politik dan konflik kepentingan justru meningkat.
Selain itu, hubungan erat antara pemerintah dan BUMN bisa menimbulkan ketergantungan struktural dan memperlemah independensi lembaga keuangan negara. Jika tidak diatur secara transparan, kebijakan ini bisa berubah menjadi instrumen politik untuk memperkuat citra atau kepentingan tertentu.
Dalam politik modern, stabilitas ekonomi adalah fondasi legitimasi kekuasaan. Pemerintah yang mampu menjaga inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi akan mendapatkan kepercayaan publik yang tinggi.
Karena itu, kebijakan penempatan dana Rp200 triliun juga bisa dibaca sebagai strategi pencitraan politik. Langkah ini menampilkan citra pemerintah yang tangguh dan proaktif menghadapi risiko global, sekaligus memperkuat narasi bahwa “negara hadir menjaga ekonomi rakyat.”
Namun dalam sistem demokratis, setiap kebijakan publik harus terbuka terhadap kritik dan evaluasi. Transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak agar kebijakan ekonomi tidak berubah menjadi alat politik sepihak.
Penempatan dana Rp200 triliun oleh Kementerian Keuangan bukan sekadar keputusan teknis ekonomi, tetapi juga strategi politik yang penuh perhitungan. Di satu sisi, kebijakan ini memperkuat likuiditas dan stabilitas sistem keuangan nasional. Di sisi lain, langkah ini menjadi sarana memperkuat citra, legitimasi, dan kendali pemerintah terhadap sektor keuangan.
Dalam praktik pemerintahan modern, ekonomi dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di balik angka-angka triliunan rupiah, tersimpan pesan politik bahwa pemerintah hadir, berkuasa, dan berupaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan stabilitas politik nasional.
Penulis:
Farrel Rizky Prawira
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik,
Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)