FAUNA | TD — Banyak orang salah mengira bahwa King Cobra adalah bagian dari keluarga ular cobra, hanya saja dengan tubuh yang lebih besar dan panjang. Nama cobra dalam istilahnya membuat banyak orang menganggapnya sebagai kerabat dekat ular cobra biasa. Namun, tahukah kamu bahwa secara ilmiah, King Cobra bukanlah bagian dari keluarga cobra? Ini bukan sekadar permainan kata-kata!
King Cobra (Ophiophagus hannah) memang mirip dengan cobra biasa: bertudung leher, berdiri tegak, mendesis, dan menebar ancaman. Namun, dalam dunia taksonomi, kemiripan morfologis tidak selalu mencerminkan kedekatan genetik.
Semua ular yang secara ilmiah tergolong cobra sejati termasuk dalam genus Naja, antara lain:
– Naja siamensis – Cobra monokel
– Naja naja – Cobra India
– Naja kaouthia – Cobra Thailand
Sementara itu, King Cobra berdiri sendiri dalam genus yang terpisah, yaitu Ophiophagus, yang berasal dari bahasa Yunani:
– ophio = ular
– phagus = pemakan
Maka arti harfiahnya adalah: pemakan ular.
Salah satu fakta mencengangkan adalah bahwa King Cobra tidak hanya berbeda dari cobra biasa, tetapi juga memangsa mereka! Menu favoritnya meliputi:
– Ular berbisa lainnya, termasuk sesama Naja dan bahkan ular pit viper.
– Kadang juga ular tikus, python muda, dan sesekali biawak kecil.
Dalam rantai makanan, King Cobra adalah apex predator di antara sesama ular. Meskipun bukan tak terkalahkan (karena burung elang bisa memangsanya), dalam duel antar ular berbisa, King Cobra hampir selalu unggul 99,99%.
Ya, King Cobra memiliki tingkat kekebalan terhadap bisa cobra dan beberapa jenis ular berbisa lainnya. Penjelasan ilmiahnya adalah:
– Dalam tubuh King Cobra terdapat enzim netralisasi neurotoksin, terutama terhadap bisa dari spesies yang biasa ia mangsa.
– Tubuhnya telah beradaptasi secara evolusioner karena dietnya berbasis ular lain, sehingga secara metabolik memproduksi protein antivenom alami.
Ini seperti “vaksin internal alami” yang membuatnya nyaris kebal terhadap serangan balik mangsanya.
Selain itu, King Cobra juga memiliki refleks yang sangat cepat, akurasi serangan tinggi, dan kecerdasan berburu yang lebih unggul dibandingkan cobra biasa. Ia menyerang bagian kepala atau tengkuk mangsa secara langsung di area vital sebelum musuh sempat menggigit balik.
Kisah King Cobra mengajarkan kita pelajaran penting:
Penampilan luar dan nama populer bisa menipu.
Yang terlihat dari luar sebagai satu kelompok, belum tentu memiliki sifat atau arah yang sama. Sama seperti dalam kehidupan manusia, kadang kita mengira dua orang yang satu komunitas, satu profesi, atau satu perjuangan memiliki hati dan tujuan yang serupa. Padahal, tidak jarang, yang satu justru siap “memangsa” yang lain dalam diam.
Bahkan sahabat terdekat pun bisa berubah menjadi predator.
Termasuk yang berhutang sekian juta… lalu pura-pura lupa.
Ya, penulis tahu itu karena sudah sering mengalaminya sendiri.
Jadi, King Cobra bukanlah “raja” para cobra, melainkan raja pemangsa ular, termasuk cobra sejati. Ia berdiri sendiri dalam silsilah biologisnya — unik, dominan, dan penuh misteri.
Dalam dunia herpetologi (ilmu yang mempelajari reptil dan amfibi), King Cobra menjadi simbol:
– Kekuatan
– Isolasi
– Penguasaan naluriah yang tak tertebak
Dan seperti hidup kita:
Kadang yang terlihat “serupa” belum tentu sekubu dan yang terlihat “akrab” justru punya senjata tersembunyi yang mematikan.
1. Animal Diversity Web – Ophiophagus hannah [Link]
2. Wikipedia – King Cobra [Link]
3. Wikipedia – Naja (genus) [Link]
4. Wikipedia – Snake venom (Penjelasan tentang kekebalan terhadap bisa) [Link]
5. National Geographic – King Cobra: World’s Longest Venomous Snake [Link]
Penulis: Sugeng Prasetyo
Editor: Mohamad Romli (*)