OPINI | TD — Generasi Z, generasi digital yang akrab dengan internet dan media sosial, menghadapi realitas sosial yang kompleks. Salah satu isu yang menarik perhatian adalah meningkatnya visibilitas WLW (Women Loving Women), atau lesbianisme, dalam ruang publik. Fenomena ini memicu perdebatan sengit antara mereka yang mendukung kebebasan individu dan mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan agama. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis fenomena WLW pada Generasi Z, mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhinya, menimbang sudut pandang agama Islam, dan menawarkan solusi yang komprehensif dan berimbang, tanpa mengesampingkan pentingnya empati dan pemahaman.
WLW, lebih dari sekadar preferensi seksual, merupakan bagian dari identitas seseorang. Menyatakannya sebagai hanya pilihan adalah penyederhanaan yang berbahaya. Orientasi seksual merupakan aspek kompleks yang terbentuk dari interaksi berbagai faktor, mulai dari genetika, hormon, hingga lingkungan dan pengalaman hidup. Penelitian ilmiah masih terus berlanjut untuk mengurai kompleksitas ini, namun beberapa faktor berikut telah diidentifikasi sebagai potensial berpengaruh:
Faktor Genetika dan Epigenetika: Penelitian menunjukkan adanya kemungkinan faktor genetik yang berkontribusi pada orientasi seksual. Namun, ini bukan faktor penentu tunggal dan interaksi genetik yang kompleks masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Epigenetika, studi tentang bagaimana gen diekspresikan berdasarkan faktor lingkungan, juga memainkan peran penting.
Faktor Hormon: Tingkat hormon selama perkembangan janin dan pubertas dapat memengaruhi perkembangan otak dan mempengaruhi orientasi seksual. Namun, ini bukan penjelasan tunggal dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanismenya.
Faktor Neurobiologi: Perbedaan struktur dan fungsi otak antara individu heteroseksual dan homoseksual telah ditemukan dalam beberapa penelitian, meskipun temuan ini masih memerlukan verifikasi lebih lanjut dan interpretasi yang hati-hati.
Faktor Psikologis dan Sosial: Pengalaman traumatik masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual atau pengabaian, dapat memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan identitas seksual. Lingkungan sosial, termasuk norma budaya dan tekanan sosial, juga berperan dalam membentuk identitas dan ekspresi seksual.
Meningkatnya visibilitas WLW di media sosial memiliki dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, peningkatan visibilitas ini dapat menciptakan ruang yang lebih aman dan inklusif bagi individu LGBTQ+. Mereka dapat merasa lebih diterima dan terwakili, mengurangi stigma dan diskriminasi. Namun, di sisi lain, peningkatan visibilitas juga dapat menimbulkan kekhawatiran, khususnya dari sudut pandang agama dan nilai-nilai moral yang dianut sebagian besar masyarakat.
Tantangan terhadap Norma Sosial: Penerimaan terhadap WLW dapat menantang norma-norma sosial tradisional mengenai keluarga dan peran gender. Hal ini dapat memicu perdebatan dan konflik nilai dalam masyarakat.
Potensi Misinterpretasi dan Eksploitasi: Penting untuk mewaspadai potensi misinterpretasi dan eksploitasi budaya WLW untuk tujuan komersial atau ideologis.
Perlu Pemahaman yang Seimbang: Penting untuk menyeimbangkan dukungan terhadap hak asasi manusia dengan pemahaman akan nilai-nilai moral dan agama yang dianut sebagian besar masyarakat.
Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia, memiliki pandangan yang jelas mengenai hubungan seksual di luar nikah, termasuk hubungan sesama jenis. Hadits-hadits yang membahas perilaku lesbian (disebut sahaaq atau musaahaqah) umumnya menyatakannya sebagai perbuatan haram. Namun, penafsiran hadits memerlukan pemahaman konteks sejarah dan linguistik yang mendalam, dan para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai penafsiran dan sanksi hukumnya. Lebih dari sekedar hukum, Islam menekankan pentingnya menjaga moralitas, kesucian diri, dan hubungan antarmanusia yang harmonis.
Pendidikan Seksual yang Holistik dan Inklusif: Pendidikan seksualitas yang komprehensif, bukan hanya sekadar reproduksi, sangat penting. Pendidikan ini harus mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, dan moral.
Penguatan Nilai-Nilai Moral dan Agama: Penting untuk memperkuat nilai-nilai moral dan agama dalam keluarga dan masyarakat. Namun, penguatan ini harus dilakukan dengan cara yang inklusif dan tidak diskriminatif.
Pencegahan Trauma dan Pelecehan: Upaya pencegahan trauma dan pelecehan seksual pada anak-anak sangat krusial. Lingkungan yang aman dan mendukung sangat penting untuk perkembangan mental dan emosional yang sehat.
Konseling dan Dukungan Psikologis: Konseling dan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami kesulitan memahami identitas seksualnya sangat penting. Dukungan ini harus diberikan tanpa menghakimi dan dengan prinsip non-diskrimatif.
Dialog dan Pemahaman Antar-Pihak: Penting untuk menumbuhkan dialog dan saling pengertian antar berbagai pihak yang memiliki perbedaan pandangan, baik dari sudut pandang agama, budaya, maupun kelompok LGBTQ+. Saling mendengarkan dan menghargai perspektif masing-masing dapat mengurangi konflik dan menciptakan suasana yang lebih kondusif.
Peran Pemerintah yang Protektif dan Edukatif: Pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk kebijakan yang melindungi hak asasi manusia semua warga negara, termasuk kelompok LGBTQ+, sambil tetap mempertimbangkan nilai-nilai moral dan agama yang dianut masyarakat. Pemerintah juga perlu berperan dalam menyediakan akses yang lebih luas kepada pendidikan seksualitas yang komprehensif dan dukungan psikologis.
Fenomena WLW di Generasi Z menuntut pendekatan yang komprehensif dan berimbang. Perlu ada upaya untuk memahami kompleksitas isu ini, menghargai hak asasi manusia, dan memperkuat nilai-nilai moral dan agama secara inklusif. Dengan dialog, edukasi, dan pemahaman yang saling menghormati, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, berkeadilan, dan menghormati perbedaan. Penting untuk diingat bahwa tujuan akhir adalah menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung bagi semua individu, terlepas dari orientasi seksual mereka.
Penulis: Khairina Firantinoor, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)