OPINI | TD — Demokrasi, idealnya, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, praktik politik uang kerap menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi yang luhur ini, terutama dalam konteks Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) maupun Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Praktik ini tidak hanya merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin yang representatif, tetapi juga merusak tatanan keadilan dan integritas pemerintahan. Artikel ini akan membahas perspektif Islam dalam menanggulangi praktik politik uang dan menawarkan beberapa strategi untuk menciptakan pemilu yang bersih.
Politik uang, seringkali disederhanakan sebagai “pembelian suara,” merupakan fenomena yang lebih kompleks dan meluas. Uang tidak hanya digunakan untuk membeli suara secara langsung, tetapi juga untuk memengaruhi berbagai tahapan pemilu, memberikan keunggulan tidak adil bagi kandidat atau partai tertentu. Proses yang rentan terhadap pengaruh uang meliputi:
1. Verifikasi Calon: Uang dapat digunakan untuk memanipulasi proses verifikasi calon, baik itu tingkat gubernur dan wakil gubernur, maupun tingkat presiden dan wakil presiden, menyingkirkan kandidat yang layak namun kurang berdana.
2. Verifikasi Partai Politik: Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dapat dipengaruhi oleh uang dalam proses verifikasi partai politik, membuka jalan bagi partai yang kaya namun minim dukungan riil.
3. Penghitungan dan Rekapitulasi Suara: Proses penghitungan dan rekapitulasi suara sangat rentan terhadap manipulasi dengan imbalan finansial, yang dapat mengubah hasil pemilu secara signifikan.
4. Penentuan Nominasi: Pengaruh uang dapat menentukan siapa yang masuk dalam daftar calon legislatif, menyingkirkan kandidat potensial yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya finansial yang memadai.
Dari sudut pandang Islam, praktik politik uang merupakan tindakan yang haram dan bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan amanah. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 secara tegas melarang memakan harta dengan cara yang bathil:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang tidak benar, dan janganlah kamu mengarahkan (urusan) harta itu kepada para penguasa, dengan maksud untuk memakan sebagian harta orang lain dengan cara yang salah, padahal kamu mengetahui.”
Praktik politik uang juga dikategorikan sebagai risywah (suap) yang dilarang dalam ajaran Islam. Risywah bertujuan untuk menggagalkan kebenaran dan menegakkan kebatilan, suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual Islam.
Untuk mewujudkan pemilu yang bersih dan berintegritas, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak:
1. Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan konsisten terhadap pelaku politik uang, tanpa pandang bulu.
2. Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pemilu harus transparan dan akuntabel, sehingga mudah diawasi oleh publik.
3. Peningkatan Partisipasi Masyarakat: Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan pemilu dan berani melaporkan praktik politik uang.
4. Pendidikan Politik dan Moral: Pendidikan politik dan moral yang menekankan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas perlu ditingkatkan, terutama di kalangan pemilih.
5. Peran Organisasi Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi proses pemilu dan mengadvokasi pemilu yang bersih.
Dengan komitmen bersama dari seluruh stakeholder, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat, pemilu yang bersih dan berintegritas sesuai dengan nilai-nilai Islam dapat terwujud. Hal ini akan memastikan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan sesuai dengan cita-cita luhur, yaitu mewujudkan pemerintahan yang adil dan bermartabat bagi seluruh rakyat.
Penulis: Lanang Juliana, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Sultan Maulana Hasanudin Banten. (*)