OPINI | TD — Politik, lebih dari sekadar tatanan pemerintahan suatu negara, mencakup negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik, dan alokasi sumber daya. Indonesia, sejak kemerdekaannya, telah mengalami transformasi sistem politik, dari sistem presidensial awal hingga sistem demokrasi yang dianut saat ini. Namun, definisi demokrasi ala Austin Ranney dalam A Study of The General Election—kedaulatan rakyat, persamaan politik, konsultasi publik, dan pemerintahan mayoritas—tampaknya jauh dari realitas yang terjadi di Indonesia. Negara ini tengah menghadapi darurat demokrasi.
Bukti nyata dari darurat demokrasi ini terlihat dari dominasi segelintir penguasa yang tidak bertanggung jawab. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta manipulasi politik telah menjadi ciri khas sistem, melemahkan pondasi demokrasi dan mengikis kepercayaan publik. Perubahan aturan batas usia minimal calon presiden, wakil presiden, gubernur, dan wakil gubernur, yang memicu dugaan dukungan terhadap anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, menjadi contoh nyata. Reaksi masyarakat berupa demonstrasi diabaikan pemerintah, menunjukkan betapa tertutupnya pemerintah terhadap aspirasi rakyat.
Kejadian ini mencerminkan kuatnya pengaruh oligarki di Indonesia; konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elit yang memiliki kekayaan, pengaruh keturunan, atau kepentingan khusus. Kondisi ini bertentangan dengan tujuan utama politik, yaitu kesejahteraan rakyat. Perebutan kekuasaan, ditandai dengan praktik politik kotor seperti suap, manipulasi, dan janji-janji kampanye yang tidak realistis, menjadi pemandangan umum menjelang setiap pemilu. Para kandidat lebih mengejar dukungan popularitas daripada mengutamakan etika politik. Setelah terpilih, banyak yang melupakan janji-janji dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, bukan kesejahteraan rakyat. Rakyat kecil menjadi korban, sekadar alat untuk melegitimasi kekuasaan elit.
Konsekuensi dari situasi ini adalah memudarnya makna demokrasi di Indonesia. Ketimpangan ekonomi diperparah oleh pejabat negara yang memanfaatkan posisi untuk mempertahankan kekuasaan, dengan minimnya pengawasan dan pembatasan. Pembatasan kekuasaan yang efektif sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan akuntabilitas pemerintah. Perebutan kekuasaan yang tidak sehat ini merusak tatanan demokrasi dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kegagalan pemimpin menjalankan tanggung jawab berujung pada kerugian masyarakat dan lingkungan.
Indonesia membutuhkan reformasi sistem politik yang mendasar. Demokrasi sejati harus ditegakkan dengan menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan. Prioritas utama adalah pemimpin yang bertanggung jawab, transparan, dan pro-rakyat. Partisipasi aktif rakyat, melalui kesadaran politik dan keberanian untuk bersuara, juga krusial. Demokrasi bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab bersama untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kita harus memutus rantai oligarki dan perebutan kekuasaan yang menyimpang, dan memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata, bukan yang terobsesi dengan ambisi pribadi.
Penulis: Tsalwa Putri, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). (*)