Undang-Undang TPKS 2022: Solusi Hukum untuk Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 10 Mei 2025 14:49 0 Redaksi

OPINI | TD Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling kompleks dan berdampak panjang. Bentuk kekerasan ini tidak hanya melukai secara fisik dan psikologis, tetapi juga menimbulkan trauma sosial, ekonomi, dan budaya bagi korban. Di Indonesia, kekerasan seksual masih menjadi masalah serius dengan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2022, terdapat lebih dari 338.000 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk paling dominan (Komnas Perempuan, 2023). Angka ini mencerminkan betapa mendesaknya isu ini untuk ditangani secara serius dan komprehensif.

Kerangka Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia

Sebelum disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022, ketentuan mengenai kekerasan seksual tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti:

  • KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengatur pemerkosaan, perbuatan cabul, dan pelecehan.
  • UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
  • UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
  • UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Namun, semua regulasi tersebut dinilai belum mengatur secara komprehensif berbagai bentuk kekerasan seksual modern, seperti pelecehan daring, eksploitasi seksual, atau kekerasan berbasis gender. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual.

Lahirnya UU TPKS: Sebuah Tonggak Penting

Disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi tonggak penting dalam sistem hukum Indonesia. UU ini memberikan pengakuan dan perlindungan yang lebih luas bagi korban serta mencakup jenis kekerasan seksual yang sebelumnya belum diakomodasi oleh hukum. Beberapa penguatan penting dalam UU TPKS antara lain:

  1. Pendekatan Korban Berbasis Hak: UU TPKS menekankan pentingnya pemulihan korban, termasuk bantuan medis, psikologis, hukum, dan rehabilitasi sosial. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan, tetapi juga sebagai sarana untuk memulihkan martabat korban.

  2. Pencegahan dan Edukasi: UU ini mendorong upaya pencegahan melalui pendidikan, kampanye publik, dan pelatihan aparat penegak hukum. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan kapasitas penegak hukum, diharapkan kekerasan seksual dapat diminimalisir.

  3. Peradilan yang Ramah Korban: Proses hukum dirancang untuk melindungi korban dari trauma sekunder, termasuk dengan pemeriksaan yang sensitif gender dan perlindungan identitas korban. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa korban merasa aman dan didukung dalam proses hukum.

Tantangan dalam Implementasi

Meskipun secara normatif UU TPKS adalah kemajuan besar, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, di antaranya:

  • Kurangnya Pemahaman Aparat Penegak Hukum terhadap isi dan semangat UU TPKS. Tanpa pemahaman yang memadai, penegakan hukum tidak akan efektif.
  • Stigma Sosial terhadap Korban, yang masih menjadi hambatan besar dalam proses pelaporan. Stigma ini sering kali membuat korban enggan untuk melapor, sehingga banyak kasus yang tidak terungkap.
  • Keterbatasan Infrastruktur Pendukung, seperti rumah aman, psikolog forensik, dan layanan hukum gratis. Tanpa dukungan yang memadai, pemulihan korban menjadi sulit.

Rekomendasi Penguatan Hukum

Agar dasar hukum kekerasan seksual dapat benar-benar kuat dan efektif, beberapa hal perlu diperhatikan:

  1. Sosialisasi dan Pelatihan Intensif bagi aparat penegak hukum, petugas medis, dan pihak terkait. Ini penting untuk memastikan bahwa semua pihak memahami dan dapat menerapkan UU TPKS dengan baik.
  2. Peningkatan Akses Korban terhadap Layanan seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), rumah aman, dan bantuan hukum. Akses yang lebih baik akan membantu korban mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
  3. Revisi dan Harmonisasi Peraturan Terkait agar selaras dengan semangat UU TPKS, termasuk revisi KUHP dan peraturan teknis lainnya. Harmonisasi ini penting untuk memastikan bahwa semua aspek hukum saling mendukung dan tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari pertanggungjawaban.

Kesimpulan

Penguatan dasar hukum terhadap kekerasan seksual bukan hanya tentang membentuk undang-undang baru, tetapi juga bagaimana hukum itu ditegakkan dengan cara yang adil, manusiawi, dan berpihak pada korban. UU TPKS merupakan kemajuan besar dalam upaya melindungi hak-hak korban dan memberikan keadilan. Namun, kerja besar belum selesai. Komitmen seluruh elemen bangsa sangat dibutuhkan agar kekerasan seksual benar-benar bisa diberantas dari akar-akarnya.

Penting bagi masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait untuk bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban kekerasan seksual. Edukasi dan kampanye kesadaran publik harus terus digalakkan untuk mengubah stigma sosial yang ada, serta mendorong korban untuk berani melapor dan mendapatkan bantuan.

Indri Hilyatul Ishthifa dan Hawa Aghnia Ilmi (Foto: Dok. Pribadi)

Dengan langkah-langkah yang tepat dan komprehensif, kita dapat berharap untuk menciptakan Indonesia yang aman, bermartabat, dan bebas dari kekerasan seksual. Ini adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Penulis: Indri Hilyatul Ishthifa dan Hawa Aghnia Ilmi, mahasiswa Fakultas dan Dakwah dan Komunikasi, UIN Siber Syekh Nurjati, Cirebon. (*)

LAINNYA