OPINI | TD — Isu tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai sorotan publik. Polemik ini bukan sekadar urusan administratif, tetapi menyangkut etika politik, moralitas, dan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Sebagai lembaga representasi rakyat, DPR diharapkan menjadi corong aspirasi dalam setiap kebijakan. Namun, keputusan terkait tunjangan yang dinilai tidak sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat justru memperlebar jurang antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Tunjangan DPR mencakup fasilitas komunikasi, perumahan, kesehatan, hingga perjalanan dinas. Secara normatif, fasilitas ini dimaksudkan agar anggota dewan dapat bekerja maksimal tanpa terbebani urusan finansial. Namun, besaran tunjangan yang kerap dianggap berlebihan memunculkan kritik, terlebih ketika kondisi ekonomi rakyat masih sulit.
Rencana kenaikan tunjangan di tengah pemulihan ekonomi nasional memantik kekecewaan publik. Masyarakat menilai DPR kurang menunjukkan empati sosial dan gagal menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Gelombang kritik bermunculan dari mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, hingga media sosial. Tiga kritik utama yang paling mengemuka ialah:
Kritik ini menegaskan adanya krisis representasi: rakyat tidak benar-benar dilibatkan, sementara kepentingan internal DPR lebih diprioritaskan.
Isu tunjangan DPR tidak bisa dianggap remeh karena berdampak langsung pada stabilitas politik dan sosial:
Demokrasi menuntut akuntabilitas dan representasi. Kebijakan tunjangan tanpa memperhatikan kondisi rakyat jelas melanggar prinsip tersebut. Etika politik mengharuskan wakil rakyat menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Kesejahteraan anggota DPR memang penting, tetapi harus diimbangi kinerja nyata, transparansi, dan sensitivitas sosial. Tanpa itu, legitimasi politik DPR akan terus terkikis.
Kasus tunjangan DPR bisa menjadi momentum untuk memperbaiki relasi rakyat dan wakilnya. Beberapa langkah perbaikan antara lain:
Polemik tunjangan DPR lebih dari sekadar persoalan nominal. Ia menyentuh ranah etika, moralitas, dan legitimasi demokrasi. Jika DPR ingin memulihkan kepercayaan publik, mereka harus membuktikan bahwa setiap kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat.
Pertanyaan mendasar pun tetap menggantung: Apakah DPR masih menjadi suara rakyat, atau sekadar memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.
Penulis: Dea Maharani, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)