OPINI | TD — Perjalanan transformasi politik dunia mencerminkan perubahan besar dalam cara kekuasaan dijalankan, dari era kolonialisme yang penuh dengan eksploitasi hingga era
digital yang dipenuhi dengan inovasi dan berbagai tantangan baru. Sejarah politik telah menunjukkan bahwa bentuk penguasaan dan mekanisme kontrol terhadap masyarakat selalu mengalami adaptasi seiring perkembangan zaman. Dalam artikel ini, saya akan mengupas lebih dalam bagaimana transformasi politik ini terjadi, dampaknya terhadap masyarakat, serta tantangan yang dihadapi dalam era
digital saat ini.
Era Kolonialisme: Eksploitasi dan Represi
Pada masa kolonial, kekuasaan dikuasai sepenuhnya oleh negara penjajah yang menggunakan kekuatan militer dan kebijakan represif untuk mengendalikan wilayah jajahan. Sistem seperti tanam paksa di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana rakyat lokal dieksploitasi tanpa ruang untuk kebebasan berpendapat atau berpartisipasi dalam politik. Penjajah tidak hanya menguasai sumber daya alam, tetapi juga memonopoli pendidikan dan informasi untuk menjaga stabilitas kekuasaan mereka. Dengan demikian, rakyat pribumi tidak memiliki akses terhadap kesadaran politik yang lebih luas.
Pada masa ini, kontrol yang diterapkan oleh negara penjajah bersifat langsung dan brutal. Kebijakan yang diambil sering kali bersifat sepihak dan tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal. Ketidakadilan sosial dan ekonomi muncul sebagai warisan dari periode kolonial yang berkepanjangan, menciptakan kesenjangan yang mendalam antara penjajah dan yang dijajah.
Transisi Menuju Era Digital: Perubahan Paradigma
Memasuki era
digital, dunia menyaksikan perubahan besar dalam cara kekuasaan dijalankan. Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan masyarakat mengakses informasi dengan cepat melalui internet dan
media sosial. Hal ini membuka peluang baru untuk partisipasi politik yang lebih inklusif, seperti melalui petisi online, e-voting, atau diskusi politik di
media sosial. Namun, era ini juga membawa berbagai tantangan serius, seperti penyebaran
berita palsu (hoax), manipulasi data, dan pengawasan digital yang sering kali mengancam kebebasan individu.
Salah satu kemajuan signifikan dalam era digital adalah munculnya gerakan sosial yang lebih terorganisir dan terdigitalisasi. Media sosial telah menjadi platform untuk aktivisme politik, di mana individu dapat menyuarakan pendapat mereka tanpa batasan geografis. Gerakan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan anti-korupsi mendapat momentum baru melalui kampanye digital yang mendorong masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, meskipun memberikan kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi, ada risiko bahwa platform ini dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau merugikan.
Kampanye Politik di Era Digital: Peluang dan Risiko
Era digital juga telah mengubah cara kampanye politik dilakukan. Jika pada masa kolonial kekuasaan lebih menekankan propaganda melalui media yang terkendali, kini politik digital memungkinkan politisi dan partai untuk menjangkau masyarakat luas melalui strategi pemasaran digital, iklan di media sosial, dan influencer politik. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, mendengarkan aspirasi mereka, dan merespons dengan lebih cepat.
Namun, di balik kemudahan akses ini, terdapat risiko manipulasi opini publik. Algoritma media sosial dirancang untuk membentuk persepsi publik secara sepihak, sering kali mengedepankan konten yang sensasional atau kontroversial. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi masyarakat, di mana kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda semakin terasing satu sama lain. Manipulasi data dan informasi dalam konteks ini menjadi alat bagi mereka yang ingin mengendalikan narasi politik dan merusak demokrasi.
Pengawasan Digital dan Kontrol Data
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari era digital adalah pergeseran kontrol yang bersifat fisik menjadi penguasaan terhadap data dan informasi pribadi. Banyak negara, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan dalam melindungi privasi warganya dari pengawasan
pemerintah maupun perusahaan teknologi global. Penyalahgunaan data pribadi untuk memantau aktivitas politik atau menciptakan profil digital individu dapat berdampak negatif pada kebebasan berekspresi dan partisipasi politik yang sehat.
Ketika data menjadi komoditas yang sangat berharga, perusahaan teknologi sering kali mengumpulkan informasi pribadi tanpa sepengetahuan pengguna. Hal ini menciptakan dilema etis di mana privasi individu dipertaruhkan demi keuntungan ekonomi. Dalam konteks politik, pengawasan yang berlebihan dapat menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat untuk bersuara, yang mengarah pada pengikisan kebebasan sipil.
Ancaman Kesetaraan Akses dan Partisipasi
Perubahan paradigma ini juga membawa dampak sosial yang signifikan. Jika era kolonialisme meninggalkan warisan berupa ketimpangan sosial dan ekonomi, era digital memperlihatkan ancaman baru berupa kesenjangan akses teknologi. Tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses internet atau memahami cara kerja teknologi digital, sehingga memperlebar jurang partisipasi antara kelompok yang memiliki akses dan mereka yang tidak.
Kesetaraan akses menjadi tantangan utama dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Kelompok-kelompok marginal, seperti warga desa, masyarakat pedalaman, dan mereka yang hidup dalam kemiskinan, sering kali terpinggirkan dalam diskusi politik yang dilakukan secara online. Tanpa akses yang memadai, suara mereka tidak terdengar, dan partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan politik semakin terbatas.
Kebangkitan Kesadaran Politik di Era Digital
Perbandingan antara dua era ini menunjukkan perbedaan metode dalam mengendalikan masyarakat. Jika pada masa kolonial kontrol dilakukan secara fisik dan represif, di era digital kontrol hadir dalam bentuk yang lebih halus melalui dominasi data dan manipulasi informasi. Meskipun tampaknya lebih demokratis, era digital tetap menghadirkan berbagai ancaman baru terhadap kebebasan berekspresi dan keterlibatan politik yang bebas.
Transformasi politik dari masa kolonial hingga era digital menunjukkan bahwa bentuk kekuasaan terus berkembang seiring waktu, tetapi tujuannya tetap mengendalikan dan memengaruhi masyarakat. Untuk menghadapi tantangan di era digital, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital dan memperjuangkan kebebasan yang lebih sejati agar demokrasi dapat terus berkembang.
Membangun Kesadaran Demokratik di Kalangan Generasi Muda
Kesadaran akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi di era digital menjadi hal yang mendesak. Generasi muda, sebagai pengguna utama teknologi digital, memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan mendukung keterbukaan informasi. Partisipasi aktif dalam politik, baik melalui dunia nyata maupun ruang digital, harus terus didorong agar transformasi politik yang terjadi tidak hanya menjadi pergeseran teknologi, tetapi juga kemajuan dalam keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan tentang literasi digital sangat penting untuk membantu individu memahami cara mengelola informasi dan berpartisipasi dalam diskusi politik secara efektif. Kesadaran tentang cara kerja algoritma, kritik terhadap sumber informasi, dan keterampilan berargumentasi dapat membantu masyarakat menjadi lebih bijak dalam menanggapi isu-isu politik.
Mendorong Inovasi dan Partisipasi yang Konstruktif
Dalam menghadapi tantangan di era digital, inovasi menjadi kunci untuk memperbaiki keadaan. Diskusi terbuka dan platform kolaboratif dapat menjadi sarana untuk mengumpulkan ide-ide dan solusi dari berbagai kalangan. Pendekatan partisipatif dalam pengambilan keputusan politik dapat memperkuat
rasa memiliki masyarakat terhadap proses demokrasi dan mendorong keterlibatan yang lebih aktif.
Kita juga perlu mendorong adanya regulasi yang jelas terkait penggunaan data pribadi dan privasi di dunia digital. Perlindungan hukum terhadap individu dari penyalahgunaan data dan pengawasan yang berlebihan harus menjadi prioritas bagi pemerintah dan lembaga terkait. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang aman bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik tanpa rasa takut akan reperkusi.
Kesimpulan
Transformasi politik dari kolonialisme hingga era digital memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kekuasaan dan kontrol terhadap masyarakat terus berubah seiring waktu. Meskipun teknologi digital membawa banyak peluang untuk partisipasi politik yang lebih inklusif, tantangan yang dihadapi juga tidak kalah besar. Dari manipulasi informasi hingga kesenjangan akses, ancaman terhadap kebebasan dan keadilan tetap ada.
Untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, masyarakat perlu berperan aktif dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi, meningkatkan literasi digital, dan mendorong partisipasi yang konstruktif. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa transformasi politik yang terjadi tidak hanya sekadar perubahan teknologi, tetapi juga kemajuan menuju keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Kesadaran akan pentingnya keterlibatan politik di era digital harus terus diperjuangkan, agar suara semua lapisan masyarakat dapat terdengar dan diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan.
Penulis: Oleh: Dhiyaa Rizka Amalia Putri, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (
*)