Tantangan Kesetaraan Politik Gender di Indonesia: Antara Kuota dan Realitas

waktu baca 6 minutes
Senin, 16 Jun 2025 12:11 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Di atas kertas, Indonesia tampaknya sedang bergerak menuju kesetaraan politik gender. Regulasi kuota 30% untuk calon legislatif perempuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar afirmatif untuk keterwakilan perempuan dalam politik. Namun, ketika menilik realitas partisipasi politik perempuan, kita harus bertanya: benarkah representasi itu sudah setara? Atau hanya formalitas yang sekadar memenuhi syarat administratif?

Teori Subaltern dari Gayatri Spivak dan Keterwakilan Perempuan Papua

Melalui perspektif teori subaltern yang dikembangkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, kita memahami bahwa perempuan, terutama yang berasal dari kelas bawah, daerah terpencil, atau komunitas adat, termasuk dalam kelompok yang suaranya tidak terdengar dalam narasi besar kekuasaan. Seperti yang dikatakan Spivak dalam pertanyaannya yang provokatif, “Can the subaltern speak?” – jawabannya, dalam konteks politik Indonesia, masih belum sepenuhnya.

Perempuan Papua sering kali menjadi korban kekerasan berlapis, yang mencakup berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan. Sebagai perempuan, mereka menghadapi tantangan yang dihadapi oleh banyak perempuan di seluruh dunia, seperti kekerasan berbasis gender, kurangnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta keterbatasan dalam partisipasi politik. Namun, situasi mereka semakin diperburuk oleh identitas etnis mereka sebagai bagian dari kelompok yang terpinggirkan. Dalam konteks Papua, di mana konflik dan ketegangan sosial sering terjadi, perempuan juga menjadi korban dari kekerasan yang berkaitan dengan konflik, baik secara fisik maupun psikologis.

Kondisi ini menciptakan realitas di mana perempuan Papua tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung dalam sistem politik yang sangat sentralistik dan maskulin. Dalam banyak kasus, keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat atau elit lokal tidak mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan perempuan. Terutama yang berasal dari daerah terpencil. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang tidak responsif terhadap tantangan yang mereka hadapi. Seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan.

Lebih jauh lagi, media nasional sering kali tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu yang dihadapi oleh perempuan Papua. Ketika perempuan Papua berjuang untuk hak-hak mereka, suara mereka sering kali tidak mendapatkan sorotan yang layak. Dan, ketika isu-isu tersebut diliput, sering kali tidak mencerminkan pengalaman dan perspektif mereka secara akurat. Ini menciptakan kesenjangan informasi yang lebih besar dan memperkuat stereotip negatif tentang perempuan Papua.

Beberapa Cara untuk Memberikan Ruang pada Perempuan Papua

Untuk mengatasi tantangan ini, penting untuk menciptakan ruang bagi perempuan Papua untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti:

  1. Meningkatkan Akses Pendidikan dan Pelatihan
    Memberikan pendidikan dan pelatihan yang relevan bagi perempuan Papua untuk meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan pemahaman mereka tentang proses politik.
  2. Mendorong Keterlibatan dalam Organisasi Masyarakat Sipil
    Mendorong perempuan Papua untuk terlibat dalam organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu-isu gender dan hak asasi manusia, sehingga mereka dapat memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif.
  3. Membangun Jaringan Dukungan
    Membangun jaringan dukungan antara perempuan Papua dan perempuan dari daerah lain di Indonesia untuk berbagi pengalaman, strategi, dan sumber daya.
  4. Meningkatkan Representasi dalam Media
    Mendorong media untuk memberikan lebih banyak ruang bagi suara perempuan Papua dan meliput isu-isu yang relevan dengan cara yang sensitif dan akurat.
  5. Advokasi Kebijakan
    Melakukan advokasi untuk kebijakan yang mendukung partisipasi politik perempuan, termasuk perlindungan hukum terhadap kekerasan berbasis gender dan diskriminasi.

Dengan Langkah seperti diatas, diharapkan perempuan Papua dapat memiliki ruang yang lebih besar untuk menyampaikan aspirasi mereka dan berkontribusi dalam proses politik, sehingga suara mereka tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai dan diakomodasi dalam kebijakan yang diambil. Ini adalah langkah penting menuju kesetaraan gender yang sejati dan keadilan sosial di Indonesia.

Perubahan Struktural, Jalan Kesetaraan Politik Gender

Menurut feminisme radikal, patriarki sebagai sistem sosial telah menciptakan relasi kuasa yang tidak setara, yang menghambat akses perempuan terhadap politik. Hal ini diperparah dengan dominasi elit politik laki-laki dalam partai yang lebih memilih kandidat laki-laki karena dianggap “lebih kompeten.” Meskipun terdapat kuota 30%, data menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI hasil Pemilu 2019 hanya mencapai 20,5%. Banyak perempuan ditempatkan di nomor urut kecil dan tidak diberi dukungan logistik, menandakan bahwa kuota hanya menjadi simbol, bukan alat transformasi.

Feminisme dalam politik harus berfokus pada perubahan struktural yang mendukung kesetaraan nyata, bukan hanya simbolis. Ini berarti menciptakan kebijakan yang memastikan akses yang setara, perlindungan hukum, dan dukungan bagi perempuan, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan sosial dan politik.

Kehadiran perempuan dalam politik tidak hanya sekadar menambah jumlah wakil di lembaga legislatif. Tetapi juga membawa perspektif yang berbeda dan lebih inklusif dalam pengambilan keputusan. Dengan melibatkan perempuan dalam proses politik, kita dapat memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Misalnya, perempuan yang memiliki pengalaman langsung dengan tantangan dalam pendidikan dan kesehatan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang apa yang diperlukan untuk meningkatkan sistem tersebut.

Ethics of Care, Isu Perempuan Menjadi Agenda Politik

Selain itu, kehadiran perempuan dalam politik juga dapat mendorong perubahan budaya yang lebih luas. Di mana isu-isu yang selama ini dianggap “khas perempuan” menjadi perhatian utama dalam agenda politik. Ini dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan. Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam politik bukan hanya bermanfaat bagi perempuan itu sendiri. Tetapi juga bagi seluruh masyarakat, karena kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan akan dihasilkan.

Jika prinsip ethics of care diterapkan dalam politik, seperti yang diusulkan oleh Nova, maka pendekatan berbasis empati, perhatian, dan kepedulian sosial akan jauh lebih dominan dalam kebijakan publik. Sayangnya, sistem politik yang maskulin masih menomorsatukan kekuasaan, bukan kepedulian.

Teori subaltern dan feminisme sama-sama menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi politik perempuan bukan hanya soal kurangnya representasi. Tetapi juga berkaitan dengan struktur kekuasaan yang bersifat eksklusif dan diskriminatif. Teori subaltern menjelaskan bagaimana suara perempuan sering kali terabaikan dalam sistem kekuasaan yang ada. Sementara feminisme menuntut penghapusan sistem patriarki yang membuat perempuan sulit untuk bersaing di dunia politik.

Untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati dalam politik, kita perlu menyadari bahwa tantangan yang dihadapi perempuan bukan hanya masalah individu. Tetapi juga masalah yang bersifat sistemik. Oleh karena itu, meningkatkan partisipasi perempuan harus diiringi dengan perubahan struktural yang dapat mengubah dinamika kekuasaan yang ada. Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan adil. Yaitu di mana suara perempuan benar-benar didengar dan dihargai.

Pertanyaannya hari ini bukan sekadar “kenapa perempuan belum banyak di politik”. Tetapi, “kapan struktur penghambat itu dirombak?” Tanpa perombakan struktural oleh partai politik, negara, dan masyarakat, partisipasi perempuan akan terus menjadi simbol kosong. Dengan kata lain, ada secara hukum, tetapi tidak bermakna dalam kuasa.

Penulis: Kanaya Aulia Gunadi, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

 

 

LAINNYA