Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Transisi energi di Indonesia sering dipahami secara teknis—seolah sekadar mengganti pembangkit batu bara dengan panel surya atau turbin angin. Padahal, di balik jargon hijau dan narasi keberlanjutan, tersimpan pertarungan politik yang jauh lebih dalam. Inti persoalannya bukan sekadar efisiensi energi, tetapi perebutan kekuasaan, kontrol, dan distribusi kemakmuran di sektor strategis ini.
Dalam konteks negara kepulauan dengan tantangan geografis dan sosial yang kompleks seperti Indonesia, Smart Grid—jaringan listrik cerdas berbasis digital—tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur teknologis. Ia juga menjadi arena ideologis dan politis yang menentukan siapa yang berhak menguasai masa depan energi nasional: rakyat, atau elite ekonomi dan politik.
Selama puluhan tahun, arsitektur energi Indonesia bersifat sentralistik. Produksi, transmisi, dan distribusi listrik terkonsentrasi di tangan segelintir aktor besar, terutama BUMN seperti PLN dan korporasi energi fosil. Model ini melahirkan ketergantungan struktural dan memperkuat konsentrasi kekayaan di pusat-pusat kekuasaan, khususnya di ibu kota.
Smart Grid datang membawa disrupsi. Melalui konsep prosumer—produsen sekaligus konsumen—rumah tangga, UMKM, bahkan komunitas lokal dapat memproduksi listrik dari PLTS atap, menggunakan sebagian untuk kebutuhan sendiri, dan menjual kelebihan produksinya ke jaringan.
Inovasi ini bukan sekadar perubahan teknologi, tetapi transformasi politik. Ia menggeser kendali energi dari tangan segelintir pemegang modal menuju masyarakat luas. Implikasinya nyata:
Pelemahan posisi monopoli. Implementasi masif PLTS atap akan mengurangi ketergantungan publik terhadap PLN. Konsekuensinya, model bisnis PLN yang selama ini bergantung pada penjualan listrik terpusat akan terguncang. Tak heran bila resistensi internal terhadap transisi ini begitu kuat.
Pemberdayaan ekonomi lokal. Di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), Smart Grid memungkinkan integrasi pembangkit kecil seperti PLTS komunal atau PLTMH. Ini memotong rantai birokrasi, menekan biaya transmisi dari pusat, serta memperkuat kemandirian ekonomi desa.
Dengan kata lain, Smart Grid membuka jalan menuju demokratisasi energi—konsep yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar konsumen pasif.
Namun, idealisme Smart Grid seringkali terjerat dalam jaring politik regulasi. Di atas kertas, pemerintah mendorong energi bersih; di lapangan, kebijakan justru lebih sering melindungi pemain lama.
1. Net Metering sebagai Senjata Politik
Aturan net metering—mekanisme jual-beli listrik antara pengguna PLTS atap dan PLN—menjadi medan tarik-menarik kepentingan. Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018, misalnya, hanya menghargai surplus listrik sebesar 65% dari harga jual. Kebijakan ini secara langsung merugikan masyarakat dan membuat investasi energi surya tidak menarik.
Meskipun sudah direvisi, pembatasan kuota dan birokrasi rumit tetap menjadi penghalang. Regulasi ini sejatinya digunakan untuk mengendalikan desentralisasi energi agar tidak berkembang terlalu cepat—karena dianggap mengancam struktur monopoli lama.
2. Tumpang Tindih Kewenangan dan Lobi Terselubung
Selain regulasi, Smart Grid juga terhambat oleh tumpang tindih kewenangan antar lembaga: Kementerian ESDM, Perindustrian, dan Keuangan. Proyek Smart Grid sering kali berjalan lambat karena perebutan peran dan ego sektoral.
Di balik layar, lobi pengusaha energi fosil dan kontraktor proyek transmisi besar terus memainkan pengaruhnya. Mereka melihat Smart Grid sebagai ancaman terhadap bisnis yang sudah mapan—karena sistem terdistribusi berarti berkurangnya kebutuhan terhadap pembangkit besar dan jaringan panjang yang menjadi sumber keuntungan utama.
Agar Smart Grid tidak berhenti sebagai jargon teknokratik, dibutuhkan keberanian politik untuk menata ulang struktur energi nasional.
Smart Grid sejatinya bukan sekadar jaringan listrik pintar. Ia adalah instrumen politik untuk mendemokratisasi energi dan memperjuangkan keadilan sosial. Jika dikelola dengan visi keberlanjutan dan keadilan, Smart Grid mampu menggeser peta kekuasaan dari monopoli menuju desentralisasi.
Namun tanpa keberanian politik dan kesadaran publik, Smart Grid hanya akan menjadi proyek elitis—simbol kemajuan tanpa makna pembebasan. Masa depan energi Indonesia ditentukan hari ini: apakah kita tetap mempertahankan dominasi lama, atau membuka ruang bagi rakyat untuk mengendalikan masa depannya sendiri.
“Energi bukan sekadar bahan bakar untuk menyalakan lampu, tetapi bahan bakar bagi keadilan dan keberanian sebuah bangsa.”
Penulis: Shanty Rachma Rizkya
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)