Sepenggal Percakapan Tentang Perjalanan Kreatif Tan Lioe Ie

waktu baca 5 menit
Selasa, 13 Agu 2024 16:00 0 99 Patricia Pawestri

SASTRA | TD – Perjalanan kreatif sastrawan Bali Tan Lioe Ie sangatlah menginspirasi. Dalam berkesenian, ia selalu menampilkan karya musik dan puisi yang berkualitas. Ia juga mampu menjalin persahabatan dengan semua orang dan tidak pelit dalam bercerita.

Dalam sebuah kesempatan, dengan akrab Tan Lioe Ie menceritakan sepenggal dari perjalanannya tersebut. Penulis menyusunnya menjadi petikan wawancara berikut:

P (Penulis): Om Tan, saya membaca bahwa ketertarikan Om Tan pada puisi sejak menjadi juri lomba baca puisi di Sanggar Minum Kopi.

Apa yang menjadi ketertarikan Om Tan untuk berkarya di bidang puisi?

T (Tan Lioe Ie): Saya mulanya terpesona pembacaan peserta lomba yang bagus, dan puisi-puisinya yang bagus. Mungkin karena puisi yang digunakan untuk lomba baca berasal dari hasil lomba tulis puisi yang diadakan sebelum lomba baca oleh Sanggar Minum Kopi. Di mana 10 terbaik menjadi puisi pilihan. Pembaca (puisi)memilih 2 puisi (untuk dibacakan).

Tema puisi yang beragam juga menarik saya. Gaya ungkapnya; ada yang asosiatif, dan ada yang relatif transparan juga.

P: Apakah ini berarti Om Tan suka dengan puisi karena teknik-teknik pembacaan puisi yang memukau?

T: Saya awalnya menganggap puisi sebagai “outlet” psikologis.

Saya pengidap obsessive compulsive disorder. Lama-lama tak sekadar outlet. Ada tantangan existensial di dalamnya, di mana manusia yang unik sekaligus universal bisa berekspresi secara otentik, tentu juga secara konten sensibilitas sebagai minoritas yang dulu terasa amat didiskriminasi, mewarnai puisi saya, termasuk juga semacam “option for the poor“, meminjam istilah Konsili Vatikan ke 2.

Sanggar Minum Kopi memang menetapkan kriteria kemungkinan baru dalam membaca puisi. Ini karena pembacaan sebelumnya cenderung iramanya sama, pola bacanya juga. Namun bukan semua pencarian kemungkinan baru tsb berhasil dan ini normal.

P: Apakah karier bermusik Om Tan lebih dahulu ada sebelum menjadi pemuisi?

T: Ya, saya main band sejak SMA. Nulis jauh lebih belakangan.

P: Kalau idola Om Tan dalam berpuisi siapa, ya, jika boleh tahu?

T: Frans Nadjira, Chairil (Chairil Anwar), Tardji (Sutradji Calzoum Bachri), Jokpin (Joko Pinurbo), GM (Goenawan Mohamad), Dina Otaviana, Ahmad Yulden Erwin, Rendra, banyak.

Mungkin bukan idola, ya. Ada lagi penyair lain, termasuk John Kuan yang misterius.

Kalau dari luar juga begitu. Random. Rimbaud, Pablo Neruda, Paz (Octavio Paz), dan lain-lain.

P: Om Tan, julukan ‘Singa dari Bali’ itu apakah dari dewan kesenian Belanda?

T: Bukan. Seorang jurnalis Suriname, menulis dalam koran setempat tentang saya, judulnya De Leeuw van Bali. Lalu digunakan oleh penerbit buku “Malam Cahaya Lampion” versi Belanda terjemahan Linde Voute penerbit Uitgeverij Conserve dengan judul “Nach Van De Lampionnen”.

Kan, bahasa Suriname bahasa Belanda juga. Merdeka 1975 dari Belanda. Nah, penerbitnya bertanya, mau pengantarnya Cintya Mc Leod (penulis ternama Suriname, anak presiden pertama Suriname). Kami saling kenal, tentu saya mau.

P: Kalau di facebook, ada foto dengan bahasa asing, sepertinya bahasa Belanda, itu Om Tan berangkat ke Festival Literatur Den Haag, ya, Om?

T: Denhaag. Ada 3 festival di 3 kota di Africa Selatan, Suriname, dan Paris. Baca di Komunitas Indonesia Perancis, lokasinya di Restoran Indonesia Paris.

Awal mulanya, saya dikirimi email berisi puisi saya dalam bahasa Inggris. Sim Sim Salabim! Nggak tahu dapat dari mana mereka puisinya. Kalau alamat email, dapat dari teman saya dari Belanda, Maya HT Liem.

Mereka minta ijin untuk dimuat di majalah Le Banian serta dikirimi versi Indonesianya. Serta minta esei dengan tema ‘hero‘, dengan panjang bebas. Ini yang bikin saya nulis eseinya.

Total 3 kali puisi saya mereka muat. Dan selalu minta. Bukan saya mengirim dulu.

Di Berlin, Martin Jankowsky bikin acara untuk saya dan kawan-kawannya untuk ‘poetry clash‘. Saya masuk kelompoknya dan bertanding dengan penyair Rusia di Berlin.

Lalu, ia minta buku saya untuk dikirim ke Berthold Damshausser. Setelahnya, saya dikontak Berthold. Ia meminta ijin penerjemahan 10 puisi untuk dimuat di Orientirungen, Tasmania. Ini berkat rekomendasi Pam Allen dan Heather Curnow.

Pam merekomendasi karena saya menyanggupi diskusi tentang Ca Bau Kan. Tidak tahu juga dari mana tahu email saya.

Heather, awalnya dengar kaset Kuda Putih di mobil Nurhidayat Poso. Lalu minta ijin merekam. Saya katakan, kalau ke Bali, tidak usah merekam, saya beri aslinya.

Europalia Belgia (ini satu-satunya program pemerintah Indonesia — mungkin karena kuratornya dari UI, lebih netral 🙂).

P: Menyanggupi menjadi narasumber dalam diskusi “Ca Bau Kan”, berarti Om Tan peduli dengan isu-isu kemanusiaan?

T: Saya tertantang saja diskusi dengan orang yang belum saya kenal; seseorang bergelar akademis tinggi yang kemudian jadi Ketua Jurusan Asia Pasifik Universitas Tasmania, tapi mau diskusi dengan saya.

Saya baca “Ca Bau Kan” setelah dikontak Pam. Menarik, risetnya bagus. Cuma ada satu istilah kalau nggak salah untuk Pam yang saya ragu atau keberatan. Lalu kami diskusi beragam hal. Ada pendapat saya dalam diskusi ini, yang Pam minta ijin untuk ditulis. Saya katakan boleh.

Sepulang dari Tasmania Writers and Readers Festival dan jadi penulis residen di sana, saya diminta Pam jadi asisten risetnya untuk kesenian ‘post bombing’ di Bali.

Saya di Sanggar Minum Kopi (SMK) dulu atau pasca SMK biasa jika bicara berkata: siapa pun boleh nulis apa yang saya katakan. 🙂

P: Tentang kaset Kuda Putih, apa itu berarti kaset musikalisasi Om Tan atas karya Umbu Landu Paranggi?

T: Ada 8 puisi Umbu, dan 2 puisi saya.

Album “Exorcism” seluruhnya puisi saya.

P: Om Tan dekat dengan banyak penyair, termasuk Raudal Tanjung Banua?

T: Raudal dekat dengan saya sejak jumpa di Padang dalam rangka Taraju Award.

Event ini, kata Gus tf Sakai, terinspirasi lomba Sanggar Minum Kopi. Kebetulan saya salah seorang pemenangnya.

Temannya, Riki Dhamparan Putra, duluan ke Bali (nama aslinya Eki Yuliadi Putra), Riki karena saya salah dengar, Dhamparan dari Umbu, tinggal Putra saja dari aslinya. Raudal datang belakangan.

Di Bali inilah Raudal berkenalan dengan metode sparing partner dalam menulis puisi yang di SMK dan Bali termasuk JKP, diajarkan Frans Nadjira ke saya dkk. Lalu dibawa Raudal ke Komunitas Rumah Lebah, Yogyakarta.

Beberapa lebih muda dari saya, lho. Saya tak lihat usia. Senior hanya soal jam terbang, bukan ukuran pencapaian.

Kalau Umbu, dedikasinya pada dunia puisi saya kagumi. Dan motivator yang hebat, beliau. Di Bali, Umbu memakai pendekatan yang sedikit berbeda dengan di Yogyakarta. Yang istimewa, sebagai redaksi, Umbu bisa menerima beragam gaya puisi. Dan, ia ikut berbahagia jika ada penyair lain menulis bagus.

(Pat)

LAINNYA