OPINI | TD — Rencana DPRD Kota Serang untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengelolaan Sampah patut diapresiasi sebagai langkah awal. Namun, yang lebih penting dari sekadar penyusunan aturan adalah memastikan bahwa regulasi tersebut berpijak pada realitas lapangan dan kebutuhan masyarakat. Tanpa pelibatan publik dan komitmen politik yang kuat, Raperda ini berisiko menjadi dokumen formal yang tak berdampak nyata.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Serang menunjukkan bahwa kota ini menghasilkan sekitar 600 ton sampah setiap hari, tetapi hanya 400 ton yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cilowong. Artinya, ada sekitar 200 ton sampah yang tidak tertangani setiap harinya. Kondisi ini memperburuk kualitas lingkungan dan meningkatkan risiko penyakit.
Ketua DPRD Kota Serang, Andi Wijaya, menyatakan bahwa Raperda ini akan mengatur peran masyarakat, sektor swasta, serta sistem pembiayaan yang lebih transparan. Namun, pernyataan normatif saja tidak cukup. Butuh keberanian politik untuk menempatkan pengelolaan sampah sebagai prioritas pembangunan daerah, bukan sekadar urusan teknis dinas lingkungan hidup.
Penting untuk menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses legislasi bukan sekadar pelengkap demokrasi, tetapi esensi dari lahirnya kebijakan publik yang adil. Mahasiswa, komunitas lingkungan, hingga warga biasa memiliki pengalaman dan perspektif yang bisa memperkaya isi Raperda.
Perwakilan mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Nurul Aini, bahkan menekankan pentingnya keterlibatan publik agar regulasi tidak bersifat elitis. Ini menjadi pengingat bahwa kebijakan yang dibuat tanpa mendengar suara masyarakat berisiko tidak efektif, atau bahkan tidak diterima.
Masalah sampah bukan semata soal teknis, tetapi juga soal politik anggaran dan keberpihakan. Dalam APBD Kota Serang 2024, alokasi untuk pengelolaan sampah hanya sekitar 3 persen dari total belanja daerah. Ini memperlihatkan bahwa masalah lingkungan belum menjadi prioritas. Pemerintah lebih cenderung mengutamakan proyek infrastruktur yang terlihat secara fisik, padahal dampak buruk dari sampah jauh lebih mendalam dan kompleks.
Selain itu, warga yang tinggal di sekitar TPA Cilowong terus mengeluhkan pencemaran udara dan air tanah, tanpa ada solusi yang benar-benar komprehensif. Ini menunjukkan adanya ketimpangan: sebagian warga menghasilkan sampah, sementara sebagian lain menanggung beban ekologisnya.
Sampah yang tidak dikelola dengan baik tidak hanya mencemari lingkungan, tapi juga membahayakan kesehatan. Data dari Dinas Kesehatan Banten menunjukkan bahwa kasus diare dan demam berdarah meningkat di musim hujan, yang salah satunya dipicu oleh tumpukan sampah. Pemerintah daerah perlu melihat pengelolaan sampah sebagai bagian dari upaya preventif di bidang kesehatan masyarakat.
DPRD Kota Serang menargetkan pembahasan Raperda selesai pada akhir 2025. Target ini harus diiringi dengan proses yang terbuka, transparan, dan partisipatif. Harapannya, regulasi ini tidak hanya menjadi aturan di atas kertas, tetapi mampu menjawab persoalan secara struktural—mulai dari sistem pengumpulan, pemilahan dari rumah tangga, edukasi warga, hingga pengelolaan TPA yang ramah lingkungan.
Jika Raperda ini berhasil dijalankan dengan baik, Kota Serang bisa menjadi contoh kota yang mampu menangani masalah klasik dengan cara yang modern dan demokratis. Namun jika tidak, kita hanya akan menyaksikan pengulangan masalah yang sama, dengan kepercayaan publik yang makin tergerus.
Sampah bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah cerminan dari bagaimana pemerintah melihat pelayanan publik. Apakah pemerintah benar-benar mendengar warganya? Apakah kebijakan dibuat demi kepentingan masyarakat luas, atau hanya untuk memenuhi syarat administrasi?
Raperda Sampah ini adalah ujian bagi DPRD dan Pemerintah Kota Serang. Ujian apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat—atau sekadar sibuk di ruang rapat.
Penulis: Ariya Dwi Nugraha, mahasiswa semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)