Mie instan kenyal saat direbus karena pati mengalami gelatinisasi dan gluten berinteraksi, membuat teksturnya lembut, elastis, dan mudah dikonsumsi, meski prosesnya ilmiah. (Foto: Freepik)PANGAN | TD — Mie instan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia—praktis, murah, dan rasanya cocok dengan lidah banyak orang. Meskipun terlihat sederhana, proses yang terjadi ketika mie kering berubah menjadi lembut dan kenyal bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ada mekanisme ilmiah yang cukup kompleks di baliknya, terutama terkait gelatinisasi pati, pembentukan gluten, dan interaksi bahan baku selama perebusan.
Artikel ini akan mengulas proses ilmiah tersebut dengan bahasa populer agar mudah dipahami, namun tetap mendalam bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia pangan.
Secara umum, mie instan berbahan dasar tepung terigu, air, garam, alkali (seperti kansui), minyak, serta bumbu tambahan. Komponen paling penting untuk membentuk tekstur mie adalah pati dan gluten.
Tepung terigu mengandung dua jenis pati utama:
Kedua pati ini berdampak langsung pada bagaimana mie berubah ketika dipanaskan. Sementara itu, gluten terbentuk dari protein glutenin dan gliadin yang memberikan struktur dan elastisitas pada mie.
Gelatinisasi adalah proses ketika granula pati menyerap air panas, membengkak, pecah, lalu membentuk gel. Inilah tahap yang membuat mie berubah dari keras menjadi kenyal dan lembut.
Ketika air panas dituangkan atau mie direbus:
Berbeda dengan mie segar, mie instan mengalami proses pragelatinisasi saat diproduksi. Setelah dicetak, mie dikukus sehingga pati sudah mengalami gelatinisasi awal. Lalu, mie dikeringkan dengan cara:
– Digoreng (fried noodles)
– Dikeringkan udara (air-dried noodles)
Karena sudah melalui proses gelatinisasi saat produksi, mie instan hanya perlu rehidrasi (penyerapan kembali air panas) untuk “mengaktifkan” kembali strukturnya.
Inilah alasan mie instan dapat matang hanya dalam 2–4 menit.
Semakin tinggi suhu air, semakin cepat molekul air bergerak dan semakin mudah air masuk ke granula pati.
– Air di bawah 60°C → mie tidak mengembang sempurna
– Air 70–80°C → proses gelatinisasi optimal
– Air mendidih 100°C → mie cepat lunak dan kenyal
Tingkat gelatinisasi menentukan kualitas mie:
✔ Kenyal
✔ Elastis
✔ Tidak mudah putus
Sebaliknya, gelatinisasi yang kurang sempurna membuat mie:
✘ keras
✘ mudah hancur
✘ bertekstur tidak merata
Gelatinisasi membuat pati lebih mudah dicerna, karena struktur kristalnya telah rusak dan berubah menjadi gel. Konsekuensinya:
Indeks glikemik (IG) mie instan meningkat
Artinya, mie lebih cepat meningkatkan kadar gula darah.
Hal ini perlu diperhatikan oleh:
Namun, sisi positifnya:
Dengan kata lain, gelatinisasi memberi keuntungan pada cita rasa dan tekstur, tetapi perlu dikonsumsi secara bijak dari segi kesehatan.
Meski terlihat sederhana, mie instan adalah produk teknologi pangan yang canggih. Ketika Anda menuangkan air panas atau merebusnya, yang terjadi bukan sekadar mie “melunak”, melainkan:
Semua proses itu bekerja bersama untuk menghasilkan mie yang lembut, kenyal, dan mudah dikonsumsi.
Memahami proses ilmiah ini membantu kita lebih menghargai inovasi di balik makanan sehari-hari yang selama ini dianggap sederhana.
Referensi:
Afriliyanti, P., Hendrawan, H., & Hodijat, A. (2023). Pengaruh substitusi tepung mocaf pada tepung terigu terhadap karakteristik mie basah. Jurnal Dimamu, 3(1), 1–7.
Hendrasty, H. K., Sugiarto, R., Setyaningsih, S., & Kurniasih, I. (2023). Pendekatan model analisis laju perubahan penyerapan dan susut masak mi kering berbahan dasar pati singkong. Jurnal Agroekoteknologi Terapan, 4(2), 231–241.
Trisnawati, M. I., & Nisa, F. C. (2015). Pengaruh penambahan konsentrat protein daun kelor dan karagenan terhadap kualitas mie kering tersubstitusi mocaf. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(1), 237–247.
Yulianti, C. H., & Safira, A. N. (2020). Analisis kandungan formalin pada mie basah menggunakan Nash dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Journal Pharmasci, 5(1), 7–14.
Penulis: Tara Nabila Salsabila
Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)