OPINI | TD — Fenomena politik dinasti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan demokrasi di Indonesia. Sejak era reformasi hingga kini, praktik dinasti politik masih kerap ditemui. Pemilu 2024 menjadi contoh nyata bagaimana keluarga politik tetap mampu mempertahankan pengaruhnya.
Namun, di sisi lain, pemilu 2024 juga menunjukkan sesuatu yang berbeda: betapa besar peran algoritma media sosial dan penggunaan big data dalam membentuk opini publik serta mengarahkan jalannya kampanye politik. Dari sini, muncul pertanyaan besar: apakah pemilu 2029 akan menjadi awal pergeseran menuju politik algoritma, ataukah politik dinasti masih akan mendominasi panggung kekuasaan?
Politik dinasti bukanlah fenomena baru. Di berbagai daerah, kursi kepala daerah sering kali diwariskan kepada pasangan, anak, atau kerabat dekat. Bahkan di tingkat nasional, isu dinasti politik kerap muncul, baik dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif.
Mengapa dinasti politik begitu kuat bertahan? Salah satu alasannya adalah adanya kombinasi kapital sosial dan kapital politik. Kapital sosial merujuk pada jejaring, rasa kepercayaan, dan kedekatan emosional yang terbangun antara tokoh politik dengan masyarakat. Ketika seorang pejabat berhasil membangun citra positif, menghadirkan program yang dirasakan manfaatnya, dan menjalin kedekatan dengan masyarakat, maka kepercayaan itu sering kali diwariskan kepada anak, istri, atau kerabatnya.
Sementara itu, kapital politik meliputi akses terhadap partai, dukungan elite, serta posisi strategis yang dimiliki keluarga politik. Tidak jarang partai lebih memilih mengusung kandidat dari keluarga politik karena dianggap memiliki peluang lebih besar. Perpaduan kapital sosial dan kapital politik inilah yang membuat politik dinasti memiliki keuntungan ganda: legitimasi dari rakyat sekaligus dukungan struktural dari partai.
Di era digital, politik juga bergerak mengikuti perkembangan teknologi. Fenomena ini dikenal sebagai politik algoritma—yakni penggunaan big data, kecerdasan buatan, dan algoritma media sosial untuk memengaruhi opini publik.
Algoritma bekerja dengan memetakan perilaku pengguna: apa yang disukai, isu apa yang sering diikuti, hingga interaksi yang dilakukan. Dari data itu, platform media sosial menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi masing-masing pengguna, termasuk konten politik.
Hasilnya, kampanye tidak lagi hanya mengandalkan baliho atau tatap muka, melainkan strategi digital yang menyasar segmentasi pemilih secara lebih personal. Pemilu 2024 sudah memberi bukti: penggunaan influencer politik, buzzer, hingga iklan digital memainkan peran penting dalam mengarahkan opini publik.
Faktor penentu pemilu 2029 adalah demografi. Gen Z dan Gen Alpha diprediksi akan mendominasi daftar pemilih. Mereka tumbuh dalam dunia digital, terbiasa dengan media sosial, dan kritis terhadap isu-isu viral.
Dengan kondisi ini, narasi politik tidak hanya ditentukan oleh figur kandidat, tetapi juga algoritma yang mengatur arus informasi di media sosial. Kandidat yang mampu menguasai kampanye digital, memanfaatkan influencer, serta mengelola big data, akan memiliki peluang lebih besar untuk meraih simpati publik.
Selain itu, Indonesia berpotensi meniru model internet voting (i-voting) seperti di Estonia. Dengan penetrasi internet yang kini mencapai lebih dari 80% populasi, pemilu digital bukanlah hal mustahil. Namun, tantangan besar tetap ada: keamanan data, risiko peretasan, dan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu daring.
Melihat tren yang ada, ada beberapa skenario yang mungkin terjadi di pemilu 2029:
Politik Indonesia selalu berada dalam tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Dinasti politik memiliki akar kuat dan daya tahan tinggi, namun perkembangan teknologi menuntut inovasi dalam strategi politik.
Pemilu 2024 telah memberi sinyal bahwa algoritma digital memainkan peran besar. Menatap 2029, kita mungkin akan menyaksikan pergeseran dari politik dinasti menuju politik algoritma, atau kombinasi keduanya.
Namun, persoalan utama bukanlah siapa yang menang—apakah dari dinasti politik atau pemain baru di ruang digital—melainkan bagaimana menjaga demokrasi tetap sehat di tengah cengkeraman dinasti dan penetrasi algoritma. Itulah tantangan terbesar politik Indonesia ke depan.
Penulis: Nisrina Nafi’ah, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)