Politik Identitas di Indonesia: Antara Representasi dan Ancaman Disintegrasi

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 21 Jun 2025 22:04 1 Redaksi

OPINI | TD – Politik identitas kembali menjadi sorotan dalam dinamika demokrasi Indonesia, terutama sejak era reformasi membuka ruang kebebasan yang lebih luas dalam kehidupan politik. Meski pada satu sisi dianggap sebagai bentuk representasi kelompok sosial, etnis, atau agama dalam sistem demokrasi, pada sisi lain praktik politik identitas kerap menjadi alat mobilisasi kepentingan yang justru memperdalam polarisasi masyarakat.

Politik Identitas: Antara Keniscayaan dan Manipulasi

Secara teoritis, politik identitas adalah suatu keniscayaan dalam masyarakat majemuk. Dalam negara plural seperti Indonesia, identitas berbasis etnis, agama, bahasa, atau budaya seringkali menjadi fondasi penting dalam membangun solidaritas sosial dan memperjuangkan keadilan representasi. Konsep ini bahkan bisa dipahami sebagai respons terhadap dominasi kekuasaan yang mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok minoritas.

Namun, permasalahan muncul ketika politik identitas dimanipulasi menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan hak kolektif. Dalam konteks politik elektoral, misalnya, strategi mobilisasi identitas kerap digunakan secara sengaja untuk memenangkan pemilu. Hal ini dapat dilihat secara nyata dalam beberapa kontestasi politik di Indonesia, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, yang menunjukkan betapa isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) menjadi senjata politik yang efektif, namun berdampak buruk terhadap kohesi sosial.

Demokrasi yang Terperangkap Polarisasi

Kondisi ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah demokrasi Indonesia berjalan menuju kedewasaan, atau justru tengah terjebak dalam jebakan polarisasi identitas? Ketika pilihan politik tidak lagi berdasarkan program atau visi-misi, melainkan identitas primordial, maka yang muncul bukanlah rasionalitas politik, melainkan fanatisme kelompok.

Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan segregasi sosial dan politik yang semakin tajam. Warga negara tidak lagi melihat satu sama lain sebagai bagian dari kesatuan bangsa, tetapi sebagai ‘kami’ dan ‘mereka’ yang saling bersaing dan bermusuhan. Ini sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar Pancasila, terutama sila ketiga: “Persatuan Indonesia”.

Tantangan dan Tanggung Jawab Elit Politik

Elit politik memegang peran sentral dalam memperkuat atau meredam politik identitas. Sayangnya, banyak politisi justru mengeksploitasi isu identitas demi meraih dukungan massa. Padahal, seharusnya mereka menjadi aktor utama dalam membangun narasi kebangsaan yang inklusif, bukan memperkeruh perbedaan.

Kita memerlukan model kepemimpinan yang mampu mengedepankan integrasi sosial, memperjuangkan keadilan substantif, dan membangun demokrasi deliberatif, bukan hanya sekadar prosedural. Pendidikan politik yang berkelanjutan, terutama di tingkat akar rumput, juga menjadi kunci untuk menumbuhkan kesadaran warga negara agar tidak mudah terprovokasi oleh wacana identitas sempit.

Menuju Politik Kebangsaan yang Inklusif

Indonesia membutuhkan transformasi paradigma politik dari yang berbasis identitas primordial menuju identitas kebangsaan yang kolektif. Ini bukan berarti meniadakan perbedaan, melainkan mengelolanya secara produktif dalam bingkai negara bangsa (nation-state). Identitas lokal, etnis, dan agama tetap penting, namun tidak boleh menjadi alasan untuk meminggirkan yang lain.

Tugas besar kita sebagai akademisi, pemimpin, dan warga negara adalah memastikan bahwa politik identitas tidak menjadi penghalang demokrasi, melainkan justru memperkaya diskursus kebangsaan secara sehat. Dengan demikian, demokrasi Indonesia bisa tumbuh matang dan inklusif, tidak hanya dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi dan nilai-nilai.

Politik identitas di Indonesia memang tidak bisa dihindari. Namun yang perlu diwaspadai adalah bagaimana ia dimobilisasi, apakah untuk memperkuat demokrasi, atau justru memecah belah masyarakat. Perlu kedewasaan politik, komitmen kebangsaan, dan kepemimpinan visioner agar demokrasi Indonesia tetap utuh dan berkeadilan.

Penulis: Ariel Febryansah, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Mohamad Romli (*)

LAINNYA