Politik Balas Jasa Dalam Birokrasi Telah Hambat Pelayanan Publik di Daerah

waktu baca 3 minutes
Minggu, 22 Jun 2025 21:24 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Upaya reformasi birokrasi yang terus berusaha digencarkan oleh pemerintah Indonesia ternyata mempunyai sisi gelap. Dalam banyak kasus penempatan pejabat publik di berbagai daerah, praktik patronase sekaligus politik balas budi tercium kuat. Alih-alih mendasarkan pada kompetensi dan profesionalisme, pemberian jabatan strategis justru merupakan persoalan siapa yang paling loyal dan dekat dengan kepala daerah.

Laporan Komisi Aparatur Negara (KASN) pada tahun 2023 menunjukkan hal ini. Terdapat data bahwa dari 1.480 rekomendasi pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT), 20% di antaranya bermasalah secara administratif dan substantif. Termasuk indikasi pelanggaran prinsip merit. Ombudsman pun mencatat 38% aduan masyarakat terhadap layanan pemerintah ternyata berkaitan dengan kompetensi dan integritas para aparatur sipil negara (ASN).

Praktik seperti demikian dalam ilmu politik dikenal sebagai patronase. Yakni relasi imbal balik antara elite politik (patron) dengan individu yang memperoleh keuntungan jabatan (klien).

Kasus pelayanan publik yang buruk dan berkaitan dengan petugas ASN yang kurang menguasai kompetensinya tersebut dapat menjadi kajian berdasar buku “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia” yang terbit tahun 1972 dan ditulis oleh pakar politik James C Scott.

Dalam buku tersebut, Scott menjelaskan patronase terjadi ketika kekuasaan digunakan untuk mendistribusikan jabatan dan sumber daya hanya kepada individu atau kelompok yang terlihat loyal secara pribadi dan politik. Relasi dalam hubungan patron-klien seperti itu menjadikan hubungan yang tak setara dan memperkuat ketergantungan pihak yang di bawah terhadap naungan kaum elite.

Ketergantungan seperti demikian dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Di beberapa daerah, kepala dinas atau camat yang memiliki hubungan dekat dengan bupati lebih dapat bertahan pada pangkatnya. Meskipun kinerja mereka tidak optimal. Sebaliknya, pegawai ASN yang berkinerja baik tetapi tidak dekat secara personal bisa kapan saja dipinggirkan.

Hal ini membuat semangat untuk bekerja dengan baik dan sarat prestasi (meritokrasi) menjadi melemah. Bahkan menjadi hal yang tak penting. Mengenai hal ini, seorang ASN di salah satu kabupaten Provinsi Jawa Tengah (X) mengaku, “Seleksi jabatan kadang hanya formalitas. Yang penting loyal, dekat, dan bisa ‘diatur’. Kalau bukan orang dalam, ya susah naik.”

Konsekuensi yang Dihadapi Masyarakat Akibat Pelayanan Publik yang Terpengaruh Patronase

Pemerintah yang birokrasinya tersandera praktik patronase akan terhambat dalam kinerjanya sebagai pelayan publik. Karena aparatur yang dipekerjakan tidak mempunyai dasar kemampuan yang cukup. Sehingga jalannya pelayanan dapat menjadi lambat, tidak memberikan solusi yang pas, serta kerap menampilkan diskriminatif.

Pelayanan publik yang buruk tersebut tentu semakin memperparah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Bahkan, pakar administrasi publik Profesor Budi Winarno pernah mengatakan bahwa pembiaran patronase yang berlarut-larut akan ‘membunuh profesionalisme’. Karena di dalamnya tercipta budaya kerja ‘asal bapak senang’ atau ABS yang membahayakan jalannya pemerintahan.

Rekomendasi Solusi

Untuk memutus mata rantai patronase, solusi tidak dapat hanya mengandalkan tataran regulasi. Tetapi, yang tidak kalah penting, juga harus mempunyai sistem pengawasan publik. Dalam hal ini terdapat 3 contohnya:

1. Penguatan sistem merit dalam komitmen bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

2. Pengawasan dan pemberian wewenang untuk memberikan tindak tegas kepada kepala daerah yang melanggar sistem rekrutmen jabatan.

3. Peran bersama antara media dan masyarakat dalam mengawasi proses seleksi jabatan publik secara independen dan transparan.

Kesimpulan

Sebagaimana penegasan Dwight Waldo dalam bukunya The Administrative State (1948) yang membahas birokrasi yang ideal. Menurutnya, birokrasi ideal adalah birokrasi yang netral, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik, bukan pada kekuasaan politik.

Namun, bila birokrasi terus menjadi kotor dengan praktik patronase, maka aparatur negara tidaklah lebih dari kepanjangan tangan penguasa, dan bukan pelayan rakyat yang sesungguhnya. Di sinilah reformasi birokrasi harus menjadi satu-satunya cara memutus mata rantai politik balas budi.

Penulis: Gina Apriyanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA