OPINI | TD — Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) genap berusia 79 tahun pada 1 Juli 2025. Sejak kelahirannya, institusi ini secara tegas diberi nama “Kepolisian Negara”. Artinya, Polri merupakan alat negara.
Dalam perjalanan panjangnya, Polri telah menjalani berbagai pengalaman, termasuk uji coba model tata kelola keamanan. Dari keamanan negara (state security) hingga keamanan manusia (human security), keduanya pernah menjadi prioritas.
Namun, masih muncul keluhan dari masyarakat. Pertanyaan mendasar pun mengemuka: ke arah mana sebenarnya prioritas Polri saat ini? Apakah lebih condong mengamankan negara beserta aset-asetnya, atau justru menghadirkan rasa aman bagi bangsa—manusia sebagai individu warga negara?
Kejelasan orientasi ini penting. Polisi tidak boleh hanya terlihat menjaga kekuasaan dan aset negara, melainkan juga menjadi pelindung bagi manusia yang membentuk bangsa ini.
Reformasi Polri
Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Komite Reformasi Polri. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga tengah menata institusi dari dalam. Pertanyaannya, hasil reformasi itu akan seperti apa? Masyarakat menunggu bukti nyata.
Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) yang dipimpin Koordinator Nasional Raja Parlindungan Pane menegaskan perlunya reformasi segera. Dalam diskusi FWK pada Rabu (8/10/2025), Raja Pane menekankan bahwa reformasi Polri harus mengembalikan ruh kepolisian sebagai pelindung rakyat, bukan penguasa.
“Reformasi Polri yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sangat tepat. Sudah lebih dari 20 tahun sejak UU Polri lahir, kini saatnya diperbarui sesuai perkembangan zaman,” ujar Raja Pane.
Pelajaran dari Kasus Sukabumi
Sejarah panjang Polri membuktikan kiprahnya sejak pra-kemerdekaan hingga kini, termasuk menghadapi era digital dengan maraknya kejahatan siber. Namun, pelayanan keamanan bagi masyarakat belum sepenuhnya menyeluruh.
Kasus di Kampung Citangkil, Sukabumi, pada 27 Juni 2025 menjadi contoh nyata. Rumah singgah di desa itu dirusak massa meski polisi sudah berada di lokasi. Ironisnya, rumah tersebut sedang digunakan untuk kegiatan retreat pelajar usia 10–14 tahun. Anak-anak justru menyaksikan langsung tindak kekerasan yang seharusnya dicegah aparat.
Peristiwa ini menunjukkan rapuhnya keamanan manusia. Polisi setempat gagal memberi perlindungan maksimal. Padahal, pengalaman traumatis itu bisa membekas panjang bagi anak-anak dan masyarakat.
Keamanan Manusia, Bukan Sekadar Negara
Keamanan manusia tidak hanya soal melindungi fisik, tetapi juga hak asasi, kebebasan berpendapat, dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari.
Al Araf dan Evitarossi Budiawan dalam buku Keamanan Manusia: Konsepsi, Implementasi, dan Perbandingan Negara Lain (Imparsial, 2023) menulis:
“Di masa kini, keamanan tidak lagi sebatas menjadikan negara sebagai objek yang harus dijaga, tetapi juga menjaga dan melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri.”
UNDP dalam Human Development Report 1994 juga menegaskan dua aspek utama keamanan manusia:
- Kebebasan dari ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit, dan penindasan.
- Perlindungan dari gangguan tiba-tiba yang merusak pola hidup sehari-hari.
Lebih rinci, ada tujuh kategori: keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, masyarakat, dan politik. Aspek terakhir, keamanan politik, bahkan dianggap paling penting karena menyangkut perlindungan dari represi negara, termasuk kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.
Sayangnya, wacana human security yang pernah menguat di era 1990-an kini kian redup, tergeser oleh dominasi state security.
Peran Masyarakat
Ketika prioritas keamanan manusia belum maksimal, masyarakat tidak boleh lengah. Upaya menjaga keamanan pribadi dan lingkungan harus dihidupkan kembali.
Sistem keamanan lingkungan (siskamling), hansip, hingga Pam Swakarsa bisa diaktifkan kembali. Warga juga perlu membekali diri dengan keterampilan praktis, termasuk bela diri. Jangan sampai masyarakat lebih mudah dikalahkan oleh penjahat daripada dilindungi oleh aparat.
Penutup
Polri lahir sebagai alat negara. Namun, di tengah dinamika bangsa yang terus berubah, pertanyaan mendasar tetap relevan: apakah Polri akan terus menjadi polisi untuk negara, atau bertransformasi menjadi polisi untuk bangsa?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah Polri ke depan—apakah ditakuti, atau dicintai rakyatnya.
Penulis: Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan dan Mantan Wartawan Harian Kompas, meliput di Markas Besar Polri awal tahun 1990-an. (*)