Lutfhi Bayu Febriansyah. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Polemik hak cipta lagu Nuansa Bening yang menyeret nama penyanyi Vidi Aldiano menjadi salah satu sorotan terbesar dalam industri musik Indonesia. Kasus ini bukan sekadar persoalan sengketa antar individu, tetapi membuka lapisan persoalan struktural dalam tata kelola hak cipta lagu di tanah air—yang selama ini dianggap lemah dan tidak konsisten.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menegaskan bahwa pencipta memiliki hak eksklusif atas karya musiknya. Hak tersebut mencakup hak moral dan hak ekonomi, termasuk kewajiban memperoleh izin dan membayar royalti saat lagu dipertunjukkan secara komersial.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan regulasi ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak pelaku seni dan penyelenggara acara beranggapan bahwa izin penggunaan lagu sudah termasuk dalam kontrak manajemen, atau menganggap praktik pertunjukan lagu tanpa lisensi adalah hal yang biasa dilakukan. Ketidakhadiran sistem administrasi yang tertib dan literasi hukum yang minim menjadi faktor penyebab utama.
Dengan demikian, persoalan yang muncul bukan hanya pelanggaran hak cipta, tetapi lemahnya sistem yang menaunginya.
Gugatan pencipta lagu, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, dapat dipandang sebagai bentuk pembelaan atas hak ekonomi pencipta. Tuntutan tersebut bertujuan menegakkan hak cipta dan royalti sesuai ketentuan hukum. Dari perspektif pencipta, langkah litigasi merupakan cara untuk menjaga martabat karya dan mendapatkan manfaat ekonomi yang sah.
Namun reaksi publik menunjukkan ketegangan pemahaman. Sebagian mendukung, tetapi sebagian menganggap langkah hukum tersebut berlebihan dan dapat “mengkriminalisasi” penyanyi. Di tengah polemik itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan eksepsi yang diajukan pihak Vidi Aldiano dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Putusan ini berimplikasi bahwa proses tidak memasuki pembuktian pokok sengketa. Secara hukum, Vidi tidak lagi menjadi pihak tergugat, tetapi substansi pelanggaran hak cipta tidak diklarifikasi.
Hal ini menunjukkan adanya kelemahan pada aspek formal gugatan, sekaligus menegaskan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta masih memerlukan penguatan.
Artikel ini berargumen bahwa polemik Nuansa Bening mencerminkan tiga masalah struktural yang belum terselesaikan dalam industri musik Indonesia:
1. Sistem lisensi dan royalti yang tidak transparan
Banyak pelaku industri bingung mengenai prosedur perizinan dan mekanisme pembayaran royalti.
2. Rendahnya literasi hak cipta di kalangan musisi dan penyelenggara acara
Pelanggaran sering terjadi bukan karena kesengajaan, tetapi ketidaktahuan.
3. Belum optimalnya peran lembaga manajemen kolektif
Ketidakpastian administrasi memicu potensi sengketa.
Selama ketiga faktor tersebut tidak ditangani, industri musik Indonesia akan terus rawan konflik serupa.
Penegakan hukum hak cipta seharusnya mampu melindungi pencipta tanpa mematikan ruang kreativitas penyanyi dan pelaku seni lainnya. Prinsip keseimbangan inilah yang menjadi tantangan: pencipta berhak atas royalti dan pengakuan, sementara pelaku industri membutuhkan kemudahan akses dan kepastian perizinan.
Mekanisme lisensi berbasis digital, pembayaran royalti transparan, dan edukasi hukum bagi pelaku seni dapat menjadi solusi untuk mengurangi friksi. Pemerintah, lembaga pengelola royalti, dan pelaku industri perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem musik yang adil dan berkelanjutan.
Kasus Nuansa Bening memberi pelajaran berharga: hukum hak cipta bukan sekadar norma formal, tetapi bagian dari penghormatan atas kreativitas dan hak intelektual. Regulasi yang baik tanpa sistem implementasi yang efektif hanya akan melahirkan sengketa baru. Jika persoalan lisensi, administrasi, dan literasi hukum tidak dibenahi, industri musik akan terus berada dalam rantai konflik yang sama.
Momentum polemik ini seharusnya mendorong pembaruan sistem pengelolaan hak cipta, demi tercapainya industri musik Indonesia yang lebih transparan, adil, dan berkembang.
Penulis: Lutfhi Bayu Febriansyah, Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Adab, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten. (*)