OPINI | TD — Transgender merujuk pada individu yang identitas gender atau ekspresi gendernya berbeda dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Terkadang istilah transeksual digunakan jika individu tersebut menjalani proses medis untuk transisi gender.
Penyebab transgender kompleks dan beragam, meliputi faktor psikologis, sosial, dan lingkungan, termasuk diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Penting untuk diingat bahwa transgender bukanlah pilihan, melainkan kondisi yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang empatik.
Pandangan Islam
Dalam Islam, transgender, yang secara hukum syariat lebih dekat dengan istilah al-mukhannits (laki-laki berperilaku seperti perempuan) dan al-mutarajjilat (perempuan berperilaku seperti laki-laki), dianggap haram.
Hadits dari Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Abu Dawud (أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ) secara tegas melaknat perilaku takhannuts.dan tarajjul. Ini menunjukkan pelarangan tegas terhadap tindakan tersebut karena dianggap menyalahi kodrat yang telah ditetapkan Allah SWT.
Meskipun demikian, penting untuk membedakan antara identitas gender dan praktik ibadah. Dalam fiqih klasik, status gender seseorang tetap berdasarkan jenis kelamin biologis saat lahir. Dengan kata lain, seorang transgender laki-laki tetaplah laki-laki secara hukum syariat dan harus menjalankan ibadah sesuai ketentuan untuk laki-laki.
Hal yang sama berlaku untuk transgender perempuan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami hal ini, sehingga mereka melakukan ibadah yang tidak sesuai syariat, atau bahkan meninggalkan ibadah sama sekali. Ini merupakan kesalahan yang perlu diluruskan.
Kitab Hasyiyatus Syarwani membahas perubahan bentuk fisik. Kalimat (ولو تصور الرجل بصورة المرأة أو عكسه فلا نقض في الاولى وينتقض الوضوء في الثانية للقطع بأن العين لم تنقلب وإنما انخلعت من صورة إلى صورة) menjelaskan bahwa perubahan bentuk luar (misalnya melalui operasi) tidak mengubah status gender seseorang secara hukum syariat.
Kasus Isa Zega
Kasus Isa Zega, seorang content creator transgender yang melakukan ibadah umroh dengan cara yang dianggap tidak sesuai syariat (menggunakan pakaian perempuan), menunjukkan salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan hukum syariat dalam konteks transgender.
Meskipun ia menjalani transisi gender, status gendernya secara hukum syariat tetap laki-laki, dan ia seharusnya menjalankan ibadah umroh sesuai ketentuan untuk laki-laki.
Tindakannya menimbulkan kontroversi dan dianggap sebagai penistaan agama oleh banyak orang. Kasus ini juga memiliki implikasi hukum di Indonesia, dengan potensi hukuman penjara. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang hukum syariat dan sensitivitas terhadap isu transgender.
Kesimpulan
Islam melarang perilaku takhannuts dan tarajjul. Namun, penting untuk memahami bahwa hukum syariat terkait gender didasarkan pada jenis kelamin biologis saat lahir, bukan identitas gender.
Transgender perlu dibimbing untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan syariat berdasarkan jenis kelamin biologisnya.
Kasus-kasus seperti Isa Zega menyoroti pentingnya edukasi dan dialog yang lebih luas untuk memahami kompleksitas isu transgender dalam konteks hukum, etika, dan sosial, baik dalam pandangan Islam maupun hukum negara.
Perlu pendekatan yang menyeimbangkan penegakan hukum dengan empati dan pemahaman terhadap kondisi individu yang kompleks tersebut. Harapannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak asasi manusia, sekaligus tetap menjunjung tinggi ajaran agama.
Penulis: Silmi Nurpadilah, Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)