Ratu Lisda Mandala. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Sering kali kita mendengar nasihat yang terdengar menyemangati, namun diam-diam menyesatkan: “Perempuan jangan kalah sama laki-laki.” Kalimat ini kerap diulang di ruang publik—di media sosial, iklan, bahkan percakapan keluarga—seolah kesetaraan gender adalah arena adu kuat, adu pintar, atau adu sukses. Seolah-olah, agar dianggap setara, perempuan harus melampaui laki-laki.
Padahal, di situlah letak kekeliruannya. Kesetaraan bukanlah kompetisi, apalagi perlombaan untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Kesetaraan adalah tentang keadilan: kesempatan yang sama untuk tumbuh, bekerja, memimpin, dan memilih jalan hidup tanpa dibatasi oleh jenis kelamin.
Fakta di Indonesia menunjukkan persoalan ini belum selesai. Indeks kesenjangan gender Indonesia masih berada di angka 0,692 menurut Global Gender Gap Report World Economic Forum 2025. Angka ini menandakan bahwa perempuan masih menghadapi hambatan sistemik—bukan karena kurang mampu, melainkan karena aturan mainnya belum adil sejak awal. Perempuan masih harus berjuang lebih keras untuk upah setara, akses pendidikan, hingga representasi politik, bukan untuk “mengalahkan” laki-laki, tetapi untuk memperoleh hak yang semestinya.
Bayangkan seorang anak perempuan di desa yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, namun dicegah dengan kalimat, “Untuk apa sekolah jauh-jauh, nanti juga nikah.” Atau seorang karyawati yang bekerja dengan beban dan tanggung jawab yang sama, tetapi menerima gaji sekitar 20 persen lebih rendah dari rekan laki-lakinya. Data BPS dalam Indeks Ketimpangan Gender 2024—yang turun menjadi 0,421—memang menunjukkan perbaikan, namun masih memperlihatkan jurang ketimpangan yang nyata, terutama di sektor ekonomi.
Narasi “jangan kalah” justru memperberat beban perempuan. Mereka merasa harus terus membuktikan diri dua kali lipat, sementara laki-laki kerap ditempatkan sebagai standar bawaan, sebagai “pemenang alami”. Padahal, partisipasi perempuan dalam ekonomi Indonesia baru mencapai 0,668, masih di bawah rata-rata ASEAN. Penyebabnya bukan kurangnya kompetensi, melainkan beban domestik yang tak terbagi adil, keterbatasan akses ke posisi strategis, dan budaya kerja yang belum ramah terhadap perempuan. Ini bukan soal siapa berlari lebih cepat, melainkan siapa yang sejak awal dipasang garis start lebih belakang.
Dampak narasi kompetitif ini juga menciptakan iklim sosial yang toksik. Perempuan yang sukses sering dicap “terlalu ambisius” atau “kehilangan kodrat”, sementara mereka yang memilih fokus pada keluarga dianggap “kalah bersaing”. Di sisi lain, laki-laki yang mendukung kesetaraan atau menunjukkan empati emosional kerap distigma sebagai lemah. Akibatnya, kedua gender sama-sama terpenjara oleh ekspektasi sempit.
Data World Economic Forum 2025 juga mencatat pemberdayaan politik perempuan Indonesia hanya berada di angka 0,153, menempatkan Indonesia di peringkat 97 dunia. Stereotip yang memosisikan perempuan sebagai pendukung, bukan pengambil keputusan, masih mengakar kuat. Jika relasi gender terus dipahami sebagai ajang menang-kalah, maka yang kita pelihara sesungguhnya adalah patriarki, bukan keadilan.
Sudah saatnya cara pandang publik bergeser. Kesetaraan adalah kolaborasi, bukan konfrontasi. Ia tidak menuntut satu pihak jatuh agar pihak lain berdiri lebih tinggi. Pendidikan sejak dini perlu menanamkan bahwa kecerdasan, kepemimpinan, dan ketangguhan bukan milik satu gender. Kebijakan afirmatif—seperti kuota keterwakilan perempuan di parlemen atau program pelatihan kerja yang inklusif—bukanlah keistimewaan, melainkan alat koreksi atas ketimpangan struktural yang telah lama dibiarkan.
Perempuan tidak perlu “menang” dari laki-laki. Yang dibutuhkan adalah sistem yang adil, di mana tak ada yang harus kalah agar yang lain bisa maju. Ketika kesempatan dibuka setara, kita tidak sedang membesarkan satu gender, melainkan memajukan seluruh masyarakat. Di sanalah makna kesetaraan yang sesungguhnya.
Penulis: Ratu Lisda Mandala
Mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pamulang. (*)