OPINI | TD — Menjelang Pemilu 2029, perdebatan soal sistem pemilu kembali mengemuka: apakah Indonesia akan tetap menggunakan sistem terbuka atau beralih ke sistem tertutup. Pertanyaan ini lebih dari sekadar teknis penyelenggaraan, karena menyangkut kualitas keterwakilan rakyat sekaligus masa depan demokrasi Indonesia. Sistem yang dipilih akan menentukan apakah suara rakyat benar-benar menjadi penentu, ataukah partai kembali menjadi aktor dominan dalam menentukan siapa yang duduk di parlemen.
Sebagai warga negara dan mahasiswa yang mengikuti dinamika politik, saya melihat sistem pemilu terbuka yang diterapkan sejak beberapa periode terakhir telah membawa perubahan besar. Sistem ini memberi kesempatan rakyat untuk memilih langsung calon legislatif, bukan hanya partai. Artinya, kendali rakyat dalam menentukan wakilnya lebih nyata.
Namun, sistem terbuka juga memunculkan tantangan: persaingan internal antarcaleg hingga praktik politik uang yang semakin marak. Sementara itu, wacana kembali ke sistem tertutup muncul dengan dalih efisiensi dan penguatan stabilitas partai.
Dalam tarik-menarik wacana ini, penting bagi bangsa untuk mengambil sikap jernih. Sistem pemilu bukan sekadar aturan teknis, tetapi fondasi keadilan dan keterwakilan rakyat.
Sistem terbuka memungkinkan masyarakat mengenal langsung calon yang dipilih, sementara sistem tertutup menyerahkan sepenuhnya kepada partai untuk menentukan siapa yang duduk di kursi legislatif. Dengan begitu, rakyat hanya bisa menerima keputusan elite partai tanpa keterlibatan langsung.
Partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mencapai 79,9% (KPU). Angka ini menunjukkan antusiasme rakyat terhadap demokrasi masih tinggi. Antusiasme seperti ini seharusnya dijawab dengan memperkuat kepercayaan kepada rakyat, bukan malah dibatasi dengan sistem tertutup.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan, sistem tertutup kerap membuat jarak antara pemilih dan wakilnya semakin lebar, karena rakyat tidak tahu siapa sosok yang sebenarnya duduk di parlemen.
Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, menegaskan bahwa tugas penyelenggara pemilu adalah memastikan rakyat memiliki akses seluas mungkin untuk menentukan pilihannya secara langsung. Bahkan Mahkamah Konstitusi, lewat Putusan Nomor 114/PUU-XX/2023, menyebut sistem terbuka sebagai wujud kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.
Bila MK saja menegaskan pentingnya partisipasi rakyat secara langsung, maka sulit membenarkan alasan untuk kembali ke sistem tertutup.
Sistem terbuka memberi ruang bagi tokoh lokal untuk maju ke parlemen, mulai dari guru, aktivis perempuan, tokoh masyarakat, hingga petani dan buruh migran. Mereka mungkin tidak memiliki modal besar atau kedekatan dengan elite partai, tetapi punya legitimasi kuat di akar rumput.
Jika sistem kembali ke model tertutup, peluang seperti ini bisa tertutup. Hanya nama-nama yang dekat dengan elite partai yang berpotensi masuk daftar caleg. Demokrasi sejati seharusnya memberi ruang bagi siapa pun yang dipercaya rakyat, bukan hanya yang diakomodasi struktur partai.
Meski sistem terbuka lebih partisipatif, tantangannya tetap besar: praktik politik uang, penyebaran hoaks, rendahnya literasi politik, hingga dominasi figur populer tanpa rekam jejak jelas.
Menghadapi tantangan ini, dibutuhkan peran aktif partai politik, pemerintah, media, dan masyarakat sipil agar Pemilu 2029 tetap sehat, jujur, dan bermartabat.
Agar sistem terbuka lebih efektif, sejumlah langkah perlu ditempuh:
Pemilu 2029 akan menjadi momentum penting dalam menentukan arah demokrasi Indonesia. Sistem terbuka, meski penuh tantangan, terbukti menjaga partisipasi rakyat tetap tinggi sekaligus memberi peluang luas bagi lahirnya wakil-wakil rakyat dari beragam latar belakang.
Kelemahan seperti politik uang bisa diatasi melalui regulasi ketat, transparansi pendanaan, dan pengawasan publik. Karena itu, kelemahan sistem terbuka tidak seharusnya dijadikan alasan untuk mundur ke sistem tertutup.
Pemilu 2029 harus menjadi tonggak untuk memperkuat sistem terbuka sebagai pilar demokrasi Indonesia—sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Penulis: Mery Dwi Yanti, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)