EKBIS | TD – Empat dari lima perusahaan tambang nikel yang berada di sekitar Raja Ampat akan mengalami pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah Indonesia.
Keputusan ini merupakan hasil rapat terbatas pada 9 Juni 2025 di Istana Kepresidenan, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Presiden Prabowo menetapkan agar 4 perusahaan tambang tidak lagi memperoleh izin untuk melaksanakan eksplorasi maupun eksploitasi mineral. Keempat perusahaan tersebut yakni PT Nurham, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
Pemerintah Moratoriumkan IUP 4 Perusahaan Tambang
Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM RI, menyatakan dalam publikasi yang rilis di kanal YouTube pagi ini, 10 Juni 2025, bahwa sebelumnya ia telah meninjau kondisi pulau-pulau yang menjadi lahan tambang di wilayah Raja Ampat dan sekitarnya. Dan, mengabadikan penampakan pulau sebagai bahan laporan kepada masyarakat Indonesia.
Bahlil juga mengatakan bahwa keempat perusahaan yang dihentikan IUP-nya tersebut memiliki berbagai pelanggaran. Hal inilah yang menjadikan pertimbangan dalam pencabutan IUP. Kawasan dari keempatnya juga termasuk dalam area konservasi geopark yang harus dilindungi keanekaragaman hayatinya.
PT GAG Terus Melanggeng
Sedangkan PT GAG Nikel tetap memperoleh izin untuk terus melaksanakan usaha tambang. Sebab, selain izinnya berasal dari pemerintah pusat, perusahaan ini telah melakukan pengelolaan limbah dengan baik sehingga tidak ada pencemaran yang tersebar ke luar. Bahkan perusahaan ini melakukan reklamasi lahan yang telah tak digunakan dan mengembalikannya kepada pemerintah.
Pemerintah Akan Terus Dorong Hilirisasi dengan Peraturan yang Ketat
Dalam penjelasan Bahlil, ia juga mengatakan bahwa pemerintah telah bertekad untuk menjaga kawasan Raja Ampat sehingga tetap layak menjadi daerah tujuan pariwisata dunia yang berkelanjutan. Selain itu, pemerintah akan terus mendorong hilirisasi ke arah industri hijau.
Satu hal yang menguntungkan dalam kasus ini, Bahlil mengatakan bahwa keempat perusahaan yang akan dicabut izinnya tersebut sebenarnya belum melakukan produksi. Ini dikarenakan mereka belum mempunyai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang haru berdasar pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini seturut dengan kerja pemerintah yang semakin ketat dalam mendata dan menata kawasan hutan sejak Januari lalu.
Di sisi lain, perwakilan rakyat dari daerah Papua Barat Daya menambahkan harapan bahwa pencabutan izin ini akan ditetapkan sebagai peraturan tertulis. Sehingga pencabutan yang hanya dianggap sementara dapat menjadi permanen dan semakin kuat dalam melindungi kawasan Raja Ampat serta kepentingan masyarakat lokal dan pariwisata berkelanjutan. (Pat)