OPINI | TD – Baru-baru ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, membuat aturan yang cukup menyita perhatian publik. Aturan tersebut tercantum dalam surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/DISDIK tanggal 23 Mei 2025 tentang pembatasan aktivitas malam bagi peserta didik. Dengan kata lain, pelajar dilarang keluar malam.
Dalam surat edaran tersebut, menetapkan bahwa pelajar dilarang keluar malam hari mulai pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB. Mereka masih diperbolehkan keluar pada malam hari untuk beberapa keadaan tertentu. Di antaranya, jika mereka memang wajib mengikuti kegiatan resmi dari sekolah atau lembaga pendidikan. Atau, kegiatan keagamaan dengan sepengetahuan wali atau orang tuanya. Juga jika sedang bersama orang tua/wali. Serta, bila berada dalam kondisi darurat dan bencana.
Aturan ini tentu saja menuai beragam reaksi dari masyarakat. Ada yang setuju, karena menilai hal ini akan melindungi anak-anak dari pengaruh buruk lingkungan malam. Tetapi, tak sedikit pula yang merasa aturan ini terlalu membatasi ruang gerak dan kebebasan pelajar. Lalu, apakah aturan ini merupakan solusi bijak atau justru terlalu ketat?
Pertama, kita perlu memahami alasan di balik aturan ini. Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi para pelajar dari potensi bahaya yang mengintai pada malam hari. Tak terpungkiri, kehidupan malam memang sering terjadi kegiatan negatif seperti pergaulan bebas, minuman keras, tawuran, hingga penggunaan narkoba.
Dengan membatasi jam keluar malam, diharapkan para pelajar bisa lebih fokus pada kegiatan belajar dan istirahat yang cukup. Malam hari seharusnya memang saat untuk beristirahat setelah seharian beraktivitas di sekolah. Selain itu, aturan ini juga menjadi bentuk perhatian pemerintah terhadap kondisi moral dan sosial generasi muda.
Salah satu hal positif dari aturan ini adalah pengecualian terhadap beberapa hal. Pelajar masih boleh keluar malam jika mengikuti kegiatan resmi sekolah atau lembaga pendidikan, atau kegiatan keagamaan dengan sepengetahuan orang tua. Atau jika dalam keperluan bersama orang tua/wali. Serta jika berada dalam kondisi darurat dan bencana. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya melarang, tetapi ingin memastikan anak-anak tidak berada di luar rumah tanpa pengawasan.
Kebijakan ini juga bisa bermanfaat untuk memberikan waktu agar orang tua menjalin komunikasi yang lebih akrab dengan anak-anaknya. Orang tua akan menjadi lebih peduli terhadap aktivitas anaknya, dan anak pun merasa lebih terarah. Ini adalah bentuk kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi pelajar.
Meski tujuannya baik, pelaksanaan aturan ini tentu tidak mudah. Pertama, bagaimana cara memastikan semua pelajar mematuhi aturan ini? Apakah akan ada patroli malam? Siapa yang akan menindak jika ada pelajar yang kedapatan nongkrong di warung kopi atau di pinggir jalan selepas jam 9 malam?
Jika penegakannya aturan jam malam ini dalam penerapan yang terlalu keras, tentu menjadi kekhawatiran memicu timbulnya ketegangan antara aparat dan masyarakat. Selain itu, tidak semua keluarga punya kondisi sosial ekonomi yang sama. Ada anak-anak yang harus membantu orang tuanya bekerja di malam hari, atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Apakah mereka juga akan mendapat larangan?
Oleh karena itu, penerapan aturan ini perlu fleksibilitas dan kebijaksanaan. Pemerintah daerah sebaiknya membuka ruang diskusi dengan masyarakat, khususnya para orang tua dan tokoh masyarakat, agar bisa memahami situasi di setiap wilayah. Mungkin saja di kota besar seperti Bandung atau Bekasi, aturan ini bisa langsung diterapkan. Tapi di daerah pedesaan yang aktivitas sosial masyarakatnya berlangsung hingga malam, pendekatan yang lebih lunak sangat penting.
Yang juga penting untuk mendapat perhatian adalah perlunya pendekatan edukatif dalam menjalankan aturan ini. Melarang tanpa menjelaskan alasan dan manfaatnya hanya akan membuat anak-anak merasa berada dalam pengekangan. Padahal, yang paling efektif adalah membuat mereka mengerti dan sadar akan risiko yang bisa terjadi jika mereka berkeliaran di malam hari.
Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus bekerja sama memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang pentingnya menjaga diri, memanfaatkan waktu secara positif, dan membangun kebiasaan yang sehat. Jika anak-anak mendapatkan bekal berupa pengetahuan dan kesadaran, mereka akan lebih bijak dalam mengambil keputusan, tanpa harus terus-menerus diawasi.
Secara garis besar, aturan larangan pelajar keluar malam di Jawa Barat adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap masa depan generasi muda. Di tengah berbagai tantangan sosial dan maraknya pengaruh negatif, langkah ini bisa menjadi pagar yang melindungi anak-anak dari bahaya.
Namun, memahami aturan ini tidak bisa hanya melalui kacamata hitam-putih. Perlu ada pendekatan yang manusiawi dan fleksibel, agar tidak justru menciptakan masalah baru. Pemerintah harus melibatkan semua pihak—orang tua, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat luas—untuk memastikan aturan ini berjalan dengan efektif, adil, dan penuh pengertian.
Lebih dari sekadar larangan, yang kita butuhkan adalah perubahan budaya dan pola pikir. Anak-anak harus merasa bahwa mereka sedang mendapatkan perlindungan, bukan pengekangan. Jika aturan ini berjalan dengan hati dan komunikasi yang baik, bukan tidak mungkin Jawa Barat bisa menjadi contoh daerah yang sukses menjaga generasi mudanya.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Editor: Patricia