OPINI | TD – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Pilkada Kota Tangerang Selatan pada tahun 2020 menjadi sorotan karena melibatkan dua tokoh politik yang cukup terkenal, yaitu Benyamin Davne dan Pilar Saga Ichsan. Keduanya tidak hanya bersaing dalam hal visi dan misi, tetapi juga terlibat dalam praktik patronase politik yang memengaruhi hasil pemilihan.
Patronase politik yang sering kali berkaitan dengan clientelism merupakan hubungan timbal balik antara politisi dan pemilih. Di mana politisi memberikan imbalan kepada pemilih sebagai balasan atas dukungan politik. Patronase politik menjelaskan bahwa dalam sistem politik yang tidak sepenuhnya mapan. Sehingga politisi sering kali menggunakan strategi patronase untuk mendapatkan dukungan. Hal ini terutama terjadi di daerah di mana masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan dari pemerintah. Dalam konteks ini, patronase politik dapat terlihat sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan politik dan mempertahankan posisi di dalam struktur kekuasaan.
Menurut Kitschelt dan Wilkinson (2007), patronase politik dapat memperkuat loyalitas pemilih, tetapi juga dapat menciptakan ketergantungan yang merugikan bagi masyarakat. Dalam konteks Pilkada, praktik ini sering kali terlihat dalam bentuk bantuan sosial, program pembangunan, dan dukungan langsung kepada pemilih.
Dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan 2020, Benyamin Davne yang merupakan mantan wakil walikota dan Pilar Saga Ichsan merupakan putra dari mantan walikota menggunakan strategi patronase untuk menarik dukungan pemilih. Benyamin dengan pengalaman politiknya, memanfaatkan jaringan yang telah dibangunnya untuk memberikan berbagai bentuk bantuan kepada masyarakat, seperti program kesehatan dan pendidikan. Sementara itu, Pilar Saga dengan latar belakang keluarga politik yang kuat, juga mengandalkan dukungan dari tokoh lokal dan organisasi masyarakat untuk memperkuat posisinya.
Benyamin Davne dikenal sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat. Ia sering kali terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan memberikan bantuan langsung kepada warga. Dalam kampanyenya, ia menekankan pentingnya keberlanjutan program-program yang telah dilakukannya selama menjabat sebagai wakil walikota. Hal ini menciptakan citra positif di mata pemilih, yang merasa bahwa mereka telah mendapatkan manfaat dari kebijakan yang diusungnya.
Di sisi lain, Pilar Saga Ichsan juga tidak kalah aktif dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Ia memanfaatkan popularitas keluarganya dan jaringan yang dimiliki untuk menarik perhatian pemilih. Pilar sering kali terlibat dalam kegiatan sosial dan memberikan bantuan kepada masyarakat, yang membuatnya terlihat sebagai calon yang peduli. Namun, di balik semua itu, praktik patronase politik yang dilakukan oleh kedua calon ini menciptakan hubungan patron-klien yang kuat, di mana pemilih merasa terikat untuk memberikan suara berdasarkan imbalan yang diterima.
Praktik patronase politik yang dilakukan oleh Benyamin Davne dan Pilar Saga Ichsan memiliki implikasi yang signifikan terhadap kualitas demokrasi di Kota Tangerang Selatan. Pertama, patronase dapat mengurangi kualitas pemilihan yang adil dan transparan. Ketika pemilih lebih memilih berdasarkan imbalan yang diterima, maka proses pemilihan menjadi tidak objektif. Hal ini dapat mengarah pada pemilihan yang tidak mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya.
Kedua, patronase politik dapat menghambat partisipasi politik yang lebih luas. Masyarakat yang terjebak dalam hubungan patron-klien cenderung merasa tidak memiliki kekuatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Mereka mungkin merasa bahwa suara mereka tidak akan didengar jika tidak ada imbalan yang diberikan. Akibatnya, partisipasi politik menjadi terbatas dan hanya melibatkan segelintir orang yang memiliki akses ke sumber daya.
Ketiga, patronase politik dapat memperkuat ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap politisi akan mendapatkan lebih banyak keuntungan, sementara masyarakat yang kurang beruntung akan terus terpinggirkan. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat mengarah pada ketidakstabilan sosial.
Patronase politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Tangerang Selatan 2020 yang melibatkan Benyamin Davne dan Pilar Saga Ichsan memberikan gambaran jelas tentang dinamika politik lokal di Indonesia. Praktik patronase yang terjadi selama kontestasi ini tidak hanya mencerminkan strategi yang digunakan oleh para calon untuk meraih dukungan, tetapi juga menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh sistem demokrasi di tingkat daerah.
Fenomena patronase politik yang terlihat dalam Pilkada ini menunjukkan bahwa hubungan antara politisi dan pemilih sering kali bersifat transaksional. Benyamin Davne berkat pengalaman dan jaringan yang dimilikinya, serta Pilar Saga Ichsan memanfaatkan latar belakang keluarganya sehingga keduanya berhasil membangun hubungan patron-klien yang kuat.
Hal ini menciptakan ketergantungan di kalangan pemilih, di mana dukungan politik sering kali diberikan berdasarkan imbalan yang diterima, bukan pada visi dan misi yang diusung. Dalam konteks ini, pemilih menjadi terjebak dalam siklus patronase yang mengurangi kualitas keputusan politik mereka.
Dampak jangka panjang dari praktik patronase politik ini dapat memperkuat ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap politisi akan mendapatkan lebih banyak keuntungan. Sementara masyarakat yang kurang beruntung akan terus terpinggirkan. Ketidakadilan ini dapat menciptakan ketegangan sosial dan konflik di masyarakat. Dan, pada gilirannya, hal ini dapat mengancam stabilitas politik dan sosial di daerah tersebut.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan upaya bersama dari semua elemen masyarakat. Termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil. Penting bagi semua pihak untuk menciptakan sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel. Yaitu di mana pemilih dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang jelas dan objektif. Pendidikan politik dan kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai praktik politik yang ada.
Dalam kesimpulannya, patronase politik dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan 2020 mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh demokrasi lokal di Indonesia. Meskipun praktik ini mungkin memberikan keuntungan jangka pendek bagi beberapa pihak, dampaknya terhadap kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat perlu menjadi perhatian serius. Hanya dengan mengatasi praktik patronase yang merugikan ini, kita dapat membangun sistem demokrasi yang lebih baik dan lebih inklusif di masa depan.
Penulis: Desta Aditya Prodi, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia