KESEHATAN | TD – Dalam keseharian masyarakat, mengonsumsi pangan ultra processed (PUP/UPF) seringkali menjadi hal tak terhindarkan. Makanan atau minuman produksi pabrik menjadi hal yang sangat menarik terkait nilai praktis dan rasanya yang enak.
Namun, terdapat berbagai kerugian kesehatan bila pangan ultra processed terlalu banyak kita konsumsi. Kandungan garam, gula, dan juga lemaknya yang tinggi dapat memicu penyakit. Misalnya penyakit kardiovaskular (jantung dan stroke), diabetes, dan juga kanker. Risiko semakin bertambah bila terdapat bahan tambahan (aditif) berupa penguat rasa (flavor enhancer) dan pewarna.
Untuk itu, masyarakat perlu mengenal dengan benar apa itu Pangan Ultra Processed tersebut. Serta apa yang menjadi bahayanya, dan cara mengantisipasinya.
Pangan ultra processed (PUP) atau Ultra Processed Food (UPF) merupakan pangan hasil formulasi industri. Dalam produksinya di pabrik, jenis makanan ini selalu melalui proses panjang dan rumit. Proses ini menghasilkan pangan siap saji.
Ciri khas dari PUP/UPF yaitu tidak lagi menampilkan bentuk asli dari bahan dasarnya. Dan bila melalui uji laboratorium, maka terdapatlah zat-zat aditif atau tambahan pangan. Seringkali, jumlah bahan ini melebihi yang diizinkan.
Contoh PUP/UPF antara lain mie instan, sosis siap makan, snack ringan, saus, kecap, es krim berkemasan, minuman ringan berkarbonasi, dan masih banyak lagi lainnya.
Sedangkan bahan tambahan pangan yang sering terdapat dalam PUP/UPF, di antaranya aspartam, saccharin, sirup jagung tinggi gula, siklamat, maltodextrin, dan lain-lain.
Pengolahan makanan agar dapat tersimpan lama dan lebih mudah dalam penyajiannya sebenarnya telah lama menjadi usaha manusia. Misalnya produksi ikan dan daging yang diasinkan di Romawi dan Yunani. Kemudian daging dan ikan asap oleh bangsa Viking dan Indian. Dan keringan buah atau ikan dan daging oleh bangsa Mesopotamia.
Penyimpanan sayuran di ruang bawah tanah yang dingin di Cina pun menjadi teknik pengolahan makanan yang cukup mengagumkan. Selain itu, olahan yang lebih canggih, yaitu fermentasi, juga telah menjadi budaya sejak peradaban kuno. Misalnya dalam pembuatan keju, wine, tempe, dan kimchi.
Saat Revolusi Industri Inggris terjadi pada abad ke-18 hingga 19, industri pengolahan makanan mulai melakukan produksi secara massal, atau besar-besaran. Tidak hanya pengawetan, tetapi juga pengemasan menjadi aktivitas penting agar produk makanan dapat aman dalam perjalanan jauh hingga sampai ke tangan pengguna. Misalnya dengan mesin teknologi pengalengan makanan.
Produksi massal makanan awetan dengan kemasan yang menarik tersebut telah mempermudah penyajian. Terutama bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit waktu untuk menyantap. Kepraktisan inilah yang membuat makanan siap saji menjadi kebutuhan pokok pasukan perang saat Perang Dunia Kedua berlangsung.
Dan, setelah perang berakhir, budaya menyantap makanan siap saji pun telah menyatu dengan keseharian masyarakat yang semakin sering dikejar waktu untuk segera bekerja. Akhirnya, pada era 1970 hingga 1990-an, makanan siap saji mulai menjadi komoditas komersial yang menjadi primadona bisnis bernilai miliaran dolar.
Makanan siap saji, atau PUP/UPF, ini semakin tak dapat terelakkan sekaligus dengan konsekuensi kesehatan yang menyertainya. Mulai dari merebaknya penyakit kardiovaskular, obesitas, dan diabetes. Dari sinilah, beberapa negara mulai memperhatikan regulasi mengenai kadar bahan aditif yang diperbolehkan, pajak atas tingginya gula, dan pencantuman nilai gizi agar konsumen dapat memilah produk yang mereka butuhkan.
Sebagai masyarakat, kita dapat mengendalikan konsumsi kita akan PUP/UPF dengan:
Sedangkan pemerintah sangat perlu membuat kebijakan yang mendukung agar produksi makanan yang lebih sehat menjadi pilihan masyarakat. Yaitu dengan:
Demikianlah pangan ultra processed food (PUP/UPF), sejarahnya, serta cara mengantisipasi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkannya. (Pat)