TANGERANG | TD – Otomatisasi dalam pekerjaan yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) disebut berdampak pada 27% pekerja dengan keterampilan tinggi dari berbagai negara.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyatakan hal tersebut dalam sebuah laporan tertulis pada Rabu, 12 Juli 2023.
OECD atau Organization for Economic Co-operation and Development merupakan organisasi internasional yang membentuk kebijakan untuk mendorong kemakmuran dan kesetaraan. OECD beranggotakan 38 negara, termasuk Inggris, Jerman, AS, Australia, Jepang, Kanada, dan Indonesia.
OECD mengatakan bahwa saat ini merupakan puncak revolusi AI, dan hal ini sangat berpengaruh pada perekonomian makro. Dampak tersebut dikhawatirkan oleh banyak orang akan menggeser posisi pekerja di beberapa bidang dengan keterampilan tingkat tinggi, seperti kesehatan, keuangan, dan hukum.
Pernyataan OECD tersebut didasarkan pada penelitian tahun 2022 atas 5300 pekerja di 2000 perusahaan manufaktur dan keuangan di 7 negara anggotanya. Penelitian ini dilakukan sebelum AI, seperti ChatGPT, mengalami perkembangan yang signifikan.
Dalam perkembangan dan penggunaan secara profesional dalam beberapa bidang, AI disebut memberi dampak ‘menyakitkan’ bagi para pekerja berupa penurunan upah bahkan kekhawatiran hilangnya karir.
Pada poin tersebut, OECD mengatakan dampak penggunaan AI sebenarnya akan membuat perubahan besar bagi para pekerja, dan bukan menggantikan mereka seutuhnya. Perkembangan AI saat ini masih berada di level kemampuan membantu, dan bukan menggantikan tugas-tugas pekerja secara profesional atau sempurna.
Bahkan, OECD mengatakan 2 dari tiga pekerja yang telah menerapkan AI justru mengatakan terbantu dengan teknologi tersebut. Mereka mengakui AI telah memabntu dengan membuat pekerjaan mereka tak terasa membosankan lagi, dan juga AI tidak berbahaya.
Mathias Corman, Sekretaris Jenderal OECD, mengatakan kunci dari manfaat dan risiko penggunaan AI sebenarnya adalah kebijakan manajemen.
“Bagaimana AI nantinya akan berdampak pada pekerja di tempat kerja dan apakah manfaatnya akan lebih besar daripada risikonya, bergantung pada tindakan kebijakan yang kami ambil,” tuturnya dalam konferensi pers.
Motivasi utama dalam investasi AI yang dilakukan oleh perusahaan adalah peningkatan kinerja dan pengurangan biaya staf. Dari sinilah tidak dipungkiri adanya kekhawatiran bahwa para calon pekerja pada bidang tertentu dengan ketrampilan khusus menjadi berada dalam posisi sulit.
Corman mengatakan para calon pekerja dengan keterampilan khusus haruslah mendapatkan bantuan, terutama dari pemerintah, untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan dan bergerak cepat pada peluang-peluang yang akan muncul seiring perkembangan AI.
Corman menjelaskan bahwa pemerintah bersama pemangku kebijakan harus memerhatikan upah minimum dan setiap pembicaraan mengenai tekanan AI yang membawa dampak penurunan upah pekerja. Ini bertujuan menjamin hak-hak pekerja agar tetap terlindungi. (*)