TANGERANG | TD – Nyimas Gamparan, atau yang lebih dikenal sebagai Saliah, adalah sosok perempuan yang menjadi pahlawan dalam sejarah perlawanan rakyat Banten terhadap penjajahan Belanda pada abad ke-XIX. Dengan latar belakang yang penuh misteri dan kemampuan mistik yang diklaimnya, Nyimas Gamparan berhasil menginspirasi banyak orang untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat pada masa itu. Dirangkum dari tesis Aris Muzhiat dengan judul Gerakan Sosial Masyarakat Banten Abad ke-XIX: Gejolak Ekonomi, Politik dan Agama 1808-1845, UIN Syarifhidayatullah, Jakarta (2022), artikel ini akan mengupas perjalanan hidup, latar belakang, dan pengaruh Nyimas Gamparan dalam pergerakan sosial di Banten.
Nyimas Gamparan lahir di Kampung Melayu dan muncul di Balaraja, Tangerang, pada tanggal 16 Agustus 1836. Meskipun asal-usulnya tidak sepenuhnya jelas, ia dikenal sebagai seorang wanita yang memiliki kemampuan mistik. Penampilannya yang khas, sering menggunakan sandal atau gampar, membantu menciptakan aura kewibawaan di antara pengikutnya. Keberaniannya untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda menjadikannya sebagai lambang perlawanan bagi masyarakat yang tertekan.
Kedatangan Nyimas Gamparan di Balaraja terjadi di tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan kolonial, terutama yang terkait dengan tanam paksa dan pajak yang sangat membebani. Dalam pandangannya, kehidupan yang lebih baik akan terwujud jika masyarakat bersatu untuk mengusir orang-orang kafir dan mengembalikan kekuasaan Kesultanan Banten. Dengan janji akan kesejahteraan dan kejayaan, Nyimas Gamparan mampu menggalang dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Tuan tanah, petani, dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Sanggar Sanggita Kencana Budaya pun menciptakan tarian Kembang Balaraja yang terinspirasi dari sosok heroik Saliah, atau yang lebih dikenal sebagai Nyimas Gamparan. Tarian tersebut ditampilkan pada momen perayaan HUT Kabupaten Tangerang ke-392 di Alun-alun Tigaraksa, 11 Oktober 2024. (Foto: Ist)
Nyimas Gamparan memimpin pemberontakan besar-besaran yang dikenal sebagai Pemberontakan Nyimas Gamparan pada tahun 1836. Ia bersama pengikutnya melakukan serangan mendadak terhadap kantor polisi dan simbol-simbol kekuasaan kolonial lainnya. Dalam pertempuran tersebut, Nyimas Gamparan menunjukkan keberanian yang luar biasa dan menyemangati pasukannya dengan doa-doa dan mantra-mantra yang diyakini dapat memberikan kekuatan tambahan.
Meskipun pasukannya awalnya berhasil menguasai beberapa daerah, termasuk Cikande Udik dan Cikande Hilir, kekuatan kolonial Belanda segera merespons dengan tindakan tegas. Residen Banten saat itu, H. Cornets de Groot, memerintahkan penangkapan Nyimas Gamparan dan pengikutnya.
Setelah beberapa waktu berjuang, Nyimas Gamparan akhirnya ditangkap oleh pihak kolonial. Ia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Meskipun perlawanan yang dipimpinnya berakhir dengan kekalahan, warisan Nyimas Gamparan tetap hidup dalam ingatan masyarakat Banten. Ia dikenang sebagai simbol perjuangan melawan penindasan dan inspirasi bagi generasi penerus dalam menghadapi ketidakadilan.
Nyimas Gamparan adalah tokoh penting dalam sejarah perlawanan rakyat Banten. Melalui keberaniannya dan kemampuannya untuk menggalang dukungan masyarakat, ia menjadi lambang perjuangan melawan kolonialisme. Warisan Nyimas Gamparan tidak hanya terletak pada pencapaian perjuangannya, tetapi juga pada pengaruhnya yang mendalam terhadap nilai-nilai keberanian, solidaritas, dan harapan akan kembalinya kejayaan masyarakat Banten. Hingga hari ini, namanya tetap dikenang dan dihormati sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak masyarakatnya.
Sanggar Sanggita Kencana Budaya pun menciptakan tarian Kembang Balaraja yang terinspirasi dari sosok heroik Saliah, atau yang lebih dikenal sebagai Nyimas Gamparan. Tarian tersebut ditampilkan pada momen perayaan HUT Kabupaten Tangerang ke-392 di Alun-alun Tigaraksa, 11 Oktober 2024. (Red)