Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Setelah resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menegaskan visinya untuk menjadikan Indonesia sebagai welfare state atau negara kesejahteraan. Sebuah gagasan besar yang menempatkan negara sebagai pelindung utama rakyatnya—bukan sekadar pengatur ekonomi, melainkan penyedia jaminan bagi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan perlindungan sosial.
Namun, visi besar ini tidak berdiri sendiri. Prabowo juga menempatkan kebijakan otonomi daerah sebagai fondasi penting pembangunan nasional. Daerah diberi kewenangan luas untuk mengelola potensi dan sumber dayanya, dengan harapan pembangunan tidak lagi tersentralisasi di Jakarta, melainkan tumbuh merata hingga pelosok negeri. Di sinilah kesejahteraan tidak hanya menjadi janji, tapi diuji dalam praktik pemerintahan yang nyata.
Konsep negara kesejahteraan yang diusung pemerintahan Prabowo berangkat dari gagasan klasik: negara tidak boleh berjarak dari rakyatnya. Pemerintah harus aktif memastikan setiap warga negara mendapat hak dasar tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, program seperti makan bergizi gratis bagi pelajar menjadi simbol konkret komitmen negara terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia sejak dini.
Selain itu, peningkatan mutu layanan kesehatan dan penguatan sektor pertanian juga menjadi prioritas utama. Ketahanan pangan, misalnya, bukan sekadar soal swasembada beras, melainkan jaminan bahwa tidak ada rakyat yang kelaparan di negeri yang kaya sumber daya ini.
Namun, keberhasilan visi negara kesejahteraan tidak cukup hanya dengan program populis. Ia membutuhkan sistem tata kelola yang transparan dan koordinasi lintas sektor yang kuat. Tanpa itu, program sosial akan berisiko menjadi sekadar proyek politik jangka pendek yang tidak menyentuh akar ketimpangan sosial.
Dalam kerangka visi kesejahteraan, otonomi daerah menjadi instrumen penting pemerataan pembangunan. Presiden Prabowo menekankan bahwa pusat dan daerah harus bersinergi dalam menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Melalui forum seperti APKASI Otonomi Expo 2025, daerah didorong untuk berinovasi, menggali potensi lokal, dan memperkuat ekonomi berbasis keunggulan wilayah masing-masing—baik dari sektor pertanian, pariwisata, maupun industri kreatif.
Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semudah konsep di atas kertas. Banyak daerah masih menghadapi keterbatasan anggaran, minimnya sumber daya manusia berkualitas, dan proses birokrasi yang berbelit. Ironisnya, otonomi yang seharusnya memperkuat daerah kadang justru melahirkan “raja-raja kecil” yang memperluas kesenjangan antarwilayah.
Karena itu, kebijakan otonomi perlu disertai dengan desentralisasi kapasitas, bukan hanya desentralisasi kekuasaan. Pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan; ia harus tetap menjadi pengarah utama agar otonomi berjalan sejalan dengan cita-cita negara kesejahteraan.
Arah kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto mencerminkan ambisi besar untuk memperkuat kehadiran negara di tengah rakyat. Dalam konteks politik modern, langkah ini bisa dibaca sebagai upaya menyeimbangkan antara kekuasaan pusat yang kuat dan kemandirian daerah yang dinamis.
Namun, keberhasilan visi ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara pemerataan dan efisiensi, antara populisme dan keberlanjutan. Negara kesejahteraan bukan hanya tentang memberi, tetapi juga memastikan setiap bantuan, subsidi, dan kebijakan benar-benar mengangkat harkat hidup rakyat, bukan sekadar memelihara ketergantungan.
Jika pemerintahan Prabowo mampu menjadikan otonomi daerah sebagai motor penggerak pemerataan ekonomi dan memperkuat kapasitas institusional di seluruh wilayah, maka Indonesia berpeluang besar melangkah menuju babak baru sejarahnya: menjadi negara kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Penulis: Oleh: Aura Intan Widya Kusuma
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)