Merayakan Hidup di Era Medsos: Sebuah Dialog dengan Derrida

waktu baca 5 minutes
Senin, 14 Okt 2024 10:28 0 Redaksi

OPINI | TD — Di era media sosial saat ini, kita sering kali mendapati diri kita terjebak dalam sebuah siklus di mana pemaknaan hidup kita sangat dipengaruhi oleh representasi yang kita temui di layar. Setiap hari, kita berinteraksi dengan berbagai konten—dari foto-foto indah yang diposting oleh teman-teman kita, hingga berita terbaru yang mungkin membuat kita merasa cemas atau bersemangat. Dalam konteks ini, gagasan merayakan hidup menjadi semakin kompleks, dan di sinilah kita dapat melakukan dialog dengan pemikir post-strukturalis Jacques Derrida.

Derrida dikenal dengan konsep “dekonstruksi,” yang menantang cara kita melihat teks dan makna. Dalam konteks media sosial, kita dapat mendekonstruksi cara kita merayakan hidup. Apakah kita merayakan hidup kita sendiri, ataukah kita hanya merayakan versi hidup yang ditunjukkan oleh orang lain? Di media sosial, kita sering kali berusaha untuk menciptakan citra diri yang ideal, yang mungkin tidak selalu mencerminkan realitas. Kita mungkin merasa bahagia dan puas dengan hidup kita, tetapi ketika kita melihat teman-teman kita yang tampaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, kita mulai meragukan kebahagiaan kita sendiri.

Dengan menggunakan lensa Derrida, kita dapat menyelidiki makna yang lebih dalam dari “merayakan hidup.” Apakah perayaan itu tulus, ataukah kita hanya melakukan itu untuk mendapatkan pengakuan? Media sosial telah menciptakan ruang di mana orang-orang berkompetisi untuk mendapatkan perhatian dan pujian. Dalam proses ini, makna kebahagiaan dan perayaan menjadi terdistorsi. Kita merayakan momen-momen kecil, tetapi sering kali dalam konteks penampilan dan ekspektasi orang lain—suatu fenomena yang sering disebut sebagai “kebahagiaan palsu” atau “kebahagiaan yang dikurasi.”

Penting untuk diingat bahwa Derrida juga berbicara tentang différance, konsep yang mengacu pada pergeseran makna yang terus-menerus. Dalam konteks merayakan hidup, kita dapat melihat bahwa perayaan ini tidak pernah tetap. Apa yang kita anggap sebagai perayaan hari ini mungkin tidak memiliki makna yang sama di masa depan. Terkadang kita merayakan pencapaian yang tidak lagi relevan, atau kita merasa tertekan untuk terus merayakan hal-hal yang seharusnya menjadi pribadi dan intim. Dalam hal ini, media sosial bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi, ia memungkinkan kita untuk berbagi kebahagiaan dan momen-momen penting, tetapi di sisi lain, ia juga menciptakan tekanan untuk tampil sempurna.

Kita juga perlu mempertimbangkan dampak dari hibriditas dalam konteks ini. Seiring dengan berkembangnya platform media sosial, kita telah melihat cara-cara baru dalam merayakan hidup. Banyak orang mulai merayakan hidup mereka dengan cara yang lebih kreatif dan unik. Mereka menciptakan konten yang tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memberikan makna mendalam bagi diri mereka sendiri. Di sinilah konsep “merayakan hidup” bisa menjadi lebih inklusif dan otentik. Misalnya, beberapa orang memilih untuk berbagi kisah perjuangan dan tantangan mereka, bukan hanya momen-momen bahagia. Ini bisa menjadi cara yang lebih mendalam untuk merayakan hidup—dengan menerima bahwa hidup itu tidak selalu sempurna.

Namun, kita juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam siklus perbandingan dan kompetisi. Ketika kita melihat orang lain merayakan hidup mereka, kita mungkin merasa tertekan untuk melakukan hal yang sama, bahkan jika kita tidak benar-benar merasa ingin melakukannya. Dalam konteks ini, Derrida mengingatkan kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi kita tentang makna dan nilai. Mengapa kita merayakan cara tertentu? Siapa yang menentukan apa yang dianggap layak untuk dirayakan? Dengan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat mulai membebaskan diri dari norma-norma sosial yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi kita.

Kita juga dapat melihat bagaimana media sosial memperbolehkan kita untuk merayakan hidup dengan cara yang lebih kolektif. Misalnya, banyak gerakan sosial dan kampanye yang berkembang melalui media sosial, seperti perayaan Hari Bumi atau kampanye kesadaran kesehatan mental. Dalam hal ini, media sosial berfungsi sebagai alat untuk memperkuat suara dan menciptakan perubahan positif. Merayakan hidup menjadi lebih dari sekadar pengalaman individu, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas dan upaya kolektif untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa merayakan hidup di era media sosial memerlukan kehati-hatian dan kesadaran. Terlalu banyak terlibat dalam media sosial dapat mengalihkan perhatian kita dari pengalaman hidup yang sebenarnya. Kita mungkin kehilangan momen-momen berharga karena terlalu fokus pada bagaimana kita akan menyajikannya di media sosial. Dalam konteks ini, Derrida menggugah kita untuk mengingat bahwa kehidupan itu lebih dari sekadar representasi. Kita perlu mengalami hidup secara langsung, bukan hanya melalui layar.

Penting juga untuk menciptakan ruang bagi refleksi pribadi. Dalam perjalanan merayakan hidup, kita perlu memberi diri kita izin untuk merasakan emosi yang kompleks—kebahagiaan, kesedihan, kepuasan, dan ketidakpuasan. Kita harus memahami bahwa merayakan hidup bukan berarti mengabaikan sisi-sisi sulit dari kehidupan. Sebaliknya, menerima dan merangkul keseluruhan pengalaman hidup, baik positif maupun negatif, adalah bagian dari proses merayakan hidup yang otentik.

Dengan menggabungkan prinsip-prinsip Derrida ke dalam cara kita merayakan hidup di era media sosial, kita dapat membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang makna dan nilai perayaan itu sendiri. Merayakan hidup bukan hanya tentang tampil baik di depan orang lain, tetapi juga tentang menciptakan hubungan yang bermakna dengan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Melalui refleksi, dekonstruksi, dan penerimaan terhadap kompleksitas pengalaman hidup, kita bisa menemukan cara baru untuk merayakan hidup yang lebih autentik dan berkelanjutan.

Dengan demikian, merayakan hidup di era media sosial menjadi sebuah perjalanan yang memerlukan kesadaran dan kewaspadaan. Kita tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga pencipta makna dalam hidup kita sendiri. Mari kita gunakan media sosial sebagai alat untuk merayakan hidup kita secara lebih mendalam, bukan sekadar sebagai platform untuk menampilkan citra diri yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Dengan cara ini, kita bisa menemukan kebahagiaan yang lebih tulus dan berkelanjutan, yang tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita lihat di dunia maya, tetapi juga oleh pengalaman hidup kita yang sebenarnya.

Penulis: Mohamad Romli, Redaktur TangerangDaily. (*)

LAINNYA