Menyoroti Dosa Konstruksi dan Santri “Nguli”

waktu baca 4 minutes
Rabu, 15 Okt 2025 08:38 0 Nazwa

OPINI | TD — Pertama-tama, penulis menyampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga para santri yang menjadi korban tragedi runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo. Semoga seluruh amal ibadah para korban diterima di sisi Allah Swt. Aamiin.
Peristiwa memilukan ini menyisakan duka mendalam: 67 santri menjadi korban, dengan 55 jenazah telah teridentifikasi. Tim SAR masih berupaya keras memastikan tidak ada lagi korban yang terjebak di balik puing-puing bangunan yang roboh. Semoga tidak ditemukan lagi korban di reruntuhan bangunan yang ternyata jauh dari kata kokoh itu.

Tragedi ini segera menjadi sorotan publik. Pondok pesantren Al-Khoziny menuai kritik tajam, bahkan hujatan di berbagai platform media sosial. Banyak pihak menilai telah terjadi kelalaian fatal dalam proses pembangunan. Kecaman semakin keras ketika beredar kabar bahwa para santri turut terlibat sebagai pekerja bangunan — atau dalam istilah yang mencuat, “santri nguli.”
Meski pihak pondok mengaku pengawasan dilakukan, tetap saja sulit diterima secara etis bahwa para santri — yang seharusnya fokus menuntut ilmu agama — turut membangun fisik pondok. Bagi sebagian kalangan, hal itu dianggap sebagai bentuk pengorbanan demi “ngalap berkah”, berharap pahala dari kerja tangan mereka sendiri untuk pesantrennya. Namun, di balik niat baik itu, tersimpan risiko besar yang seharusnya tidak terjadi.

Ngalap Berkah yang Disalahartikan

“Ngalap berkah” atau tabarruk bermakna mencari keberkahan dari sesuatu yang diyakini membawa kebaikan. Namun, praktik ini sering disalahpahami — terlebih ketika dilakukan tanpa pemahaman mendalam. Kasus di Al-Khoziny menunjukkan bagaimana semangat “ngalap berkah” dapat berubah menjadi tragedi ketika tidak dibarengi dengan pengetahuan dan kehati-hatian.

Para santri yang ikut membantu pembangunan pondok mungkin melakukannya dengan niat tulus, tetapi niat baik tidak bisa menggantikan kompetensi teknis. Apalagi ketika pekerjaan tersebut menyangkut struktur bangunan bertingkat yang memerlukan keahlian dan perhitungan presisi.
Pekerjaan konstruksi bukan arena untuk mencoba-coba. Ia menuntut penerapan prinsip K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang ketat — sesuatu yang jelas berada di luar kapasitas para santri.

Sungguh ironis, semangat “ngalap berkah” justru berubah menjadi bencana. Padahal, banyak bentuk tabarruk yang lebih aman dan sesuai dengan nilai-nilai pesantren — seperti beradab kepada guru, menjaga tutur kata, atau mengambil teladan dari para kiai. Itu pun sudah menjadi ladang keberkahan, tanpa harus mempertaruhkan nyawa.

Pihak pengurus pesantren pun semestinya memahami batas etika dan tanggung jawab keselamatan. Mengajak santri membantu pembangunan demi menghemat biaya bukanlah solusi. Keselamatan harus menjadi prioritas utama. Niat baik tidak boleh mengaburkan kewajiban moral untuk melindungi nyawa para santri.

Dosa Konstruksi yang Tak Terampuni

Berbagai ahli konstruksi telah menyoroti kasus ini dan sepakat bahwa perencanaan bangunan Al-Khoziny diduga tidak memenuhi kaidah teknis. Perhitungan struktur yang tidak presisi dan pengerjaan tanpa pengawasan profesional menjadi faktor utama ambruknya bangunan tersebut.

Ironisnya, praktik “santri nguli” bukanlah hal baru. Bahkan, seperti diakui Menko PMK, Muhaimin Iskandar, kebiasaan santri membantu pembangunan pesantren sudah menjadi tradisi turun-temurun. Namun, di era modern, tradisi seperti ini harus dikaji ulang.
Tradisi yang mengandung risiko kehilangan nyawa tidak bisa lagi dibiarkan hidup atas nama kebiasaan atau romantisme masa lalu. Ia harus dihentikan — sebab nyawa manusia terlalu berharga untuk dijadikan bagian dari ritual “pembangunan spiritual.”

Tragedi ini adalah cermin “dosa konstruksi” — kelalaian sistemik dalam perencanaan, pengawasan, dan tanggung jawab. Bangunan yang runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan kegagalan moral: kegagalan untuk menyerahkan pekerjaan kepada yang ahli.

Dalam Islam pun, Rasulullah telah menegaskan pentingnya profesionalisme: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”

Pembangunan pesantren seharusnya mengikuti prosedur profesional dengan izin resmi dan perencanaan matang. Fakta bahwa dari ribuan pesantren di Indonesia hanya sekitar 50 yang memiliki izin pembangunan menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan ini.

Pondok Pesantren Al-Khoziny akhirnya menjadi pelajaran pahit: contoh nyata bagaimana niat baik tanpa perencanaan dan profesionalisme dapat menelan korban jiwa. Sudah saatnya tradisi “santri nguli” dihentikan. Pembangunan harus melibatkan tenaga ahli bersertifikat, dengan standar keselamatan yang ketat.

Karena tak ada berkah dalam kelalaian, dan tak ada pahala dalam tragedi.

Catatan akhir:
Kita semua berduka. Tapi duka tidak boleh berhenti di tangisan. Ia harus menjadi peringatan, agar di masa depan tidak ada lagi pesantren yang runtuh — baik bangunannya, maupun nilai-nilai kemanusiaannya.

Penulis: Ibrahim Guntur Nuary, Dosen Tidak Tetap Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA