Menyibak Rahasia “Cogito Ergo Sum”: Aku Berpikir Maka Aku Ada!

waktu baca 6 minutes
Jumat, 13 Jun 2025 21:43 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Di antara berbagai kalimat ikonik dalam sejarah pemikiran manusia, ada satu ungkapan yang pengutipannya paling sering di dalam filsafat modern, yaitu “cogito ergo sum“. Ungkapan ini bermakna “aku berpikir, maka aku ada”.

Perkenalan pertama kali kalimat tersebut oleh filsuf dari Perancis bernama René Descartes pada abad ke-17. Kalimat ini dianggap sebagai pondasi awal dari upaya pencarian kebenaran yang hakiki. Descartes sedang berusaha untuk mencari titik pijak mutlak yang tidak terdapat keraguan di dalamnya. Baik oleh apapun, dan siapapun.

Namun di balik keanggunan kalimat tersebut, tersembunyi pertanyaan yang lebih dalam. Yaitu apakah benar keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan oleh aktivitas berpikir? Ataukah justru terdapat lapisan eksistensial yang lebih fundamental daripada sekedar pikiran itu sendiri?

Dasar Pemikiran Descartes

René Descartes memulai perenungannya dengan satu metode radikal, yaitu: meragukan segala sesuatu. Ia menyadari bahwa semua instrumen inderawi itu bisa menipu. Sedangkan, dunia luar bisa jadi sebuah ilusi. Atau, bahkan tubuh yang tampak pun bisa saja tidak nyata. Dalam keraguan total itu, maka satu-satunya hal yang tidak dapat ia sangkal adalah sebuah kenyataan bahwa dirinya sedang meragukan.

Keraguan itu sendiri merupakan bentuk dari proses aktif berpikir. Dan proses berpikir menegaskan bahwa ada subyek yang sedang berpikir. Maka pada akhirnya ia tiba pada kesimpulan akhir:

“Aku berpikir, maka aku ada.”

Menurut Descartes, aspek kesadaran diri yang berpikir menjadi bukti minimal dari keberadaan. Meskipun, dia masih sedang mencari bukti lain yang lebih maksimal. Segala hal dapat dipertanyakan, kecuali keberadaan kesadaran itu sendiri.

Pikiran Sebagai Bukti Eksistensi

Argumen Descartes memanglah terlihat tampak logis dan kokoh. Karena selama seseorang mampu berpikir, maka ada eksistensi fundamental yang melandasinya. Maka oleh karena itu, pikiran menjadi bukti kehadiran diri (elemen eksistensial). Tanpa berpikir maka seseorang seakan kehilangan pembuktian atas eksistensi keberadaan dirinya sendiri.

Namun, apakah aktivitas berpikir benar-benar layak menjadi landasan epistemologi untuk mengungkapkan keberadaan manusia? Ataukah hanya sekadar kesimpulan dangkal yang hanya lahir di permukaan dari sesuatu esensi yang lebih mendalam?

Apakah Otak Adalah Pusat Eksistensi?

Secara umum, bagi kebanyakan orang, proses berpikir itu identik dengan aktivitas otak. Otak dipandang sebagai pusat kesadaran karena bertugas untuk memproses informasi, mengingat, menganalisis, hingga menghasilkan keputusan.

Secara biologis, memanglah benar bahwa pikiran manusia diproses melalui jaringan saraf di otak. Sel-sel neuron mampu membentuk sambungan koneksi rumit yang menjadi infrastruktur fisik dari aktivitas berpikir. Tanpa otak maka manusia tidak dapat berbicara, mengingat, atau menganalisis informasi sebagaimana mestinya.

Namun, meskipun otak menjalankan fungsi vital untuk berpikir, keberadaannya sendiri tetap bergantung pada entitas lain yang lebih fundamental, yaitu : ruh kehidupan. Otak yang telah sempurna strukturnya  tidak akan pernah bisa melakukan proses berpikir jika tidak dihidupkan.

Kehidupan Sebagai Pondasi Terdalam

Sebelum seseorang mampu berpikir, terlebih dahulu ia harus hidup. Kehidupan memberikan energi dasar bagi seluruh sistem biologis untuk bekerja, termasuk otak. Tanpa kehidupan, maka otak hanya sebatas jaringan biologis tak bernyawa. Sehingga tanpa inti kehidupan (ruh), maka ia tidak memiliki kemampuan berpikir secara otomatis.

Seperti halnya komputer yang memerlukan sumber arus listrik untuk dapat memproses data, maka otak pun memerlukan keberadaan esensi kehidupan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Esensi kehidupan itulah yang menjadi pondasi eksistensi manusia. Karena berpikir hanyalah salah satu ekspresi aktif dari keberadaan kehidupan tersebut.

Dengan demikian, kehidupan hadir lebih dulu dibanding aktivitas berpikir. Maka, bukan karena seseorang berpikir lalu ia ada, melainkan karena ia telah ada dengan diberikan kehidupan. Maka, ia baru bisa menyadari bahwa dia  mampu untuk berpikir serta menyadari keberadaannya sendiri.

Apa yang Terjadi Jika Pikiran Berhenti?

Contoh paling sederhana dapat dilihat ketika seseorang tertidur lelap tanpa mimpi (deep sleep), pingsan, atau mengalami koma. Dalam kondisi itu, aktivitas berpikir nyaris berhenti sepenuhnya. Bahkan dalam kondisi tertentu, kesadaran menjadi tidak aktif sepenuhnya. Namun dengan demikian apakah orang itu menjadi tidak lagi ada? Tentu saja ia akan tetap ada. Keberadaannya masih tetap berlangsung meskipun pikirannya sendiri tidak sedang bekerja.

Jadi dengan demikian keberadaan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh aktivitas berpikir. Melainkan oleh kehidupan itu sendiri yang senantiasa terus bernafas dan berdenyut. Pikiran hanyalah representasi aktif dari keberadaan dan bukan penentu eksistensi manusia.

Ketika Kehidupan Berakhir

Lalu bagaimana ketika kehidupan itu sendiri berhenti? Saat kehidupan berakhir maka seluruh fungsi biologis tubuh menjadi berhenti termasuk otak. Pikiran sebagai ekspresi penggerak kesadaran pun ikut lenyap. Namun pada titik ini apakah eksistensi keberadaan manusia telah berakhir sepenuhnya?

Pertanyaan ini membawa kita ke ranah filsafat yang lebih dalam yaitu keberadaan ruh. Ruh adalah entitas non-fisik yang menjadi pusat kesadaran sejati. Ia akan tetap eksis meskipun berpisah dengan jasad/tubuh fisiknya. Ketika seseorang meninggal maka otaknya akan berhenti bekerja. Tubuhnya lambat laun akan membusuk dan hancur. Tetapi hakikat ruh tetap eksis dalam dimensi keberadaannya sendiri yang tidak terikat oleh ruang dan waktu duniawi.

Apakah Ruh Tetap Bisa Berpikir Tanpa Otak?

Pada tahap ini muncul pertanyaan yang lebih dalam, yaitu : “Jika ruh tetap ada setelah tubuh mati, maka apakah ruh masih dapat berpikir, ketika tidak lagi memiliki otak (jasad fisik)?”

Ya, ruh tetap mampu berpikir namun dalam bentuk kesadaran yang berbeda ketika masih menjalani kehidupan di alam dunia. Ketika ruh terlepas dari tubuh maka ia tidak lagi terikat oleh keterbatasan organ fisik. Kesadarannya tidak lagi bergantung pada neuron, memori biologis, atau sensorik inderawi. Ruh mengalami bentuk kesadaran langsung yang lebih tajam, luas, dan tidak memerlukan proses mekanisme biologis seperti ketika masih hidup di dunia.

Dalam banyak catatan reflektif, kesadaran ruhani bahkan diyakini mampu memahami realitas secara instan tanpa melalui proses logika bertahap. Ruh tetap memiliki kemampuan untuk merasakan, mengenang, menyesali, bahkan berdialog dalam dimensi eksistensialnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di alam pasca-kehidupan (barzakh-akhirat).

Melangkah Lebih Jauh Dari Descartes

René Descartes meletakkan pondasi penting dalam filsafat modern dengan prinsip “Aku berpikir, maka aku ada.” Namun, ia berhenti pada kesadaran berpikir sebagai sumber eksistensi. Pemikirannya tidak sampai menembus kepada asal-usul kesadaran itu sendiri.

Jika diperluas maka formula eksistensi manusia yang lebih utuh dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Aku hidup, maka aku ada; dan karena itulah aku dapat berpikir.”

Keberadaan manusia berdiri di atas kehidupan yang dianugerahkan oleh Sang Pemilik Kehidupan. Berpikir hanyalah salah satu “fenomena” lanjutan dari keberadaan akan kehidupan itu sendiri. Pikiran bukanlah pondasi eksistensial melainkan pantulan dari kehidupan yang lebih dalam, yang melibatkan keberadaan entitas ruhaniah yang terus eksis, bahkan ketika tubuh dan otak berhenti berfungsi.

Kesimpulan Reflektif :

Cogito Ergo Sum dalam dunia filsafat modern telah lama menjadi simbol kebangkitan rasionalisme manusia. Namun manusia modern perlu menyadari bahwa eksistensi tidak hanya berdiri di atas pikiran. Karena di balik pikiran, ada suatu kehidupan; dan di balik kehidupan, ada ruh sebagai inti kesadaran sejati.

Pada akhirnya, berpikir bukanlah sumber keberadaan, melainkan sekadar salah satu ekspresi dari eksistensi yang lebih agung. Dan itu adalah ruh manusia yang tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu mengetahui hakikat sebenarnya selain daripada penciptanya.

Penulis: Sugeng Prasetyo

Editor: Patricia

Sumber Referensi :

https://www.britannica.com/topic/cogito-ergo-sum
 https://philosophybreak.com/articles/i-think-therefore-i-am-descartes-cogito-ergo-sum-explained/
 https://en.wikipedia.org/wiki/Mind%E2%80%93body_dualism
 https://en.wikipedia.org/wiki/Res_extensa
 https://en.wikipedia.org/wiki/Rationalism
 https://en.wikipedia.org/wiki/Mental_substance
 https://www.gutenberg.org/files/59/59-h/59-h.htm
 https://en.wikipedia.org/wiki/Discourse_on_the_Method
 https://en.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes
 https://en.wikipedia.org/wiki/Consciousness

 

 

 

LAINNYA