Menilai Kualitas Protein: Tubuh Butuh Asam Amino Lengkap, Bukan Sekadar Banyak

waktu baca 4 minutes
Kamis, 9 Okt 2025 15:59 0 Redaksi

OPINI | TD – Banyak orang beranggapan bahwa semakin banyak protein yang dikonsumsi, semakin baik pula manfaatnya bagi tubuh. Tak sedikit yang rutin minum susu tinggi protein atau menambah porsi lauk pauk demi memenuhi kebutuhan harian. Namun, benarkah tubuh akan otomatis menjadi lebih sehat hanya karena asupan protein meningkat?

Faktanya, yang lebih penting bukanlah jumlah protein, melainkan kualitasnya. Kualitas protein ditentukan oleh kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang di dalamnya.

Apa Itu Asam Amino?

Asam amino adalah komponen dasar penyusun protein, yang diibaratkan sebagai “batu bata” pembentuk struktur tubuh. Setiap protein terdiri atas rantai panjang asam amino dengan urutan tertentu. Urutan inilah yang menentukan bentuk, fungsi, dan peran protein dalam tubuh.

Tubuh manusia membutuhkan 20 jenis asam amino, dan sembilan di antaranya tergolong asam amino esensial—yaitu jenis yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh dan harus diperoleh dari makanan.

Sembilan asam amino esensial tersebut meliputi: histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, dan lisin.

Asam-asam amino ini berperan penting dalam pembentukan hormon pertumbuhan seperti hormon tiroid dan Human Growth Hormone (HGH). Protein dikatakan bermutu tinggi bila mengandung seluruh jenis asam amino esensial dalam proporsi yang seimbang untuk mendukung pertumbuhan serta perbaikan jaringan tubuh.

Perbedaan Kualitas: Protein Hewani vs. Nabati

Sumber terbaik asam amino esensial umumnya berasal dari protein hewani, seperti daging sapi, unggas, ikan, telur, dan produk susu. Makanan-makanan tersebut disebut protein lengkap karena mengandung sembilan asam amino esensial dalam jumlah memadai.

Sebaliknya, sebagian besar protein nabati—seperti dari kacang-kacangan atau biji-bijian—tergolong tidak lengkap, kecuali beberapa jenis seperti kedelai, quinoa, dan gandum hitam. Artinya, protein nabati biasanya kekurangan satu atau lebih asam amino esensial tertentu.

Namun, bukan berarti protein nabati tidak bermanfaat. Kombinasi yang tepat antar sumber nabati (misalnya nasi dengan kacang-kacangan atau tempe dengan jagung) dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing dan menghasilkan profil asam amino yang lebih baik.

Bagi mereka yang menjalani pola makan vegetarian atau vegan, variasi sumber protein menjadi kunci agar tubuh tetap mendapatkan semua asam amino esensial yang dibutuhkan.

Bagaimana Menilai Kualitas Protein?

Untuk mengetahui seberapa baik suatu sumber protein dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh, para ahli gizi menggunakan beberapa metode penilaian, antara lain:

  1. PER (Protein Efficiency Ratio)
    Mengukur efektivitas protein dalam mendukung pertumbuhan dengan membandingkan kenaikan berat badan terhadap jumlah protein yang dikonsumsi.
  2. PDCAAS (Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score)
    Metode ini menilai kualitas protein berdasarkan kandungan asam amino dibandingkan dengan kebutuhan standar, serta mempertimbangkan daya cerna.
    Protein dengan nilai PDCAAS ≥ 90 digolongkan sebagai berkualitas tinggi.
  3. DIAAS (Digestible Indispensable Amino Acid Score)
    Metode terbaru yang lebih akurat karena mengukur daya cerna asam amino pada usus halus (ileum).
    Kategorinya adalah:

    • < 75 : tidak dapat diklaim sebagai protein berkualitas
    • 75–99 : protein berkualitas baik
    • ≥ 100 : protein berkualitas sangat baik

Kesimpulan: Kualitas Lebih Penting dari Kuantitas

Memenuhi kebutuhan protein bukan hanya soal banyaknya konsumsi, tetapi seberapa baik kualitas protein tersebut dalam membantu tubuh membangun, memperbaiki, dan menjaga fungsi vitalnya.

Dengan memahami pentingnya keberagaman dan kelengkapan asam amino, kita bisa mengoptimalkan fungsi protein untuk mendukung pertumbuhan, perbaikan jaringan, serta menjaga keseimbangan metabolisme tubuh.

Daftar Pustaka

  • Afina, H. N., & Maryanto, S. (2020). The Effect of Modisco III by Adding Soybean to Albumin Levels in Low Protein Energy Rats. Jurnal Gizi dan Kesehatan, 12(1), 11–18.
  • FAO. (2013). Dietary Protein Quality Evaluation in Human Nutrition. FAO Food and Nutrition Paper, 92.
  • Haryani, V. M., Putriana, D., & Hidayati, R. W. (2023). Animal-Based Protein Intake is Associated with Stunting in Children in Primary Health Care of Minggir. Amerta Nutrition, 7(2SP), 139–146.
  • Novia, R., Setiawan, B., & Marliyati, S. A. (2023). Protein Quality of Ready to Use Therapeutic Food (RUTF) Bar Product for Children Under Five Years with Severe Acute Malnutrition. Media Gizi Indonesia, 18(2), 142–149.
  • Nuryanto, N., dkk. (2023). Profil Asam Amino Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Protein Hidrolisat Ikan Kuniran. Journal of Nutrition College, 12(3), 232–237.
  • Probosari, E. (2023). Pengaruh Protein Diet Terhadap Indeks Glikemik. Journal of Nutrition and Health, 7(1), 33–39.
  • Purnamasari, V. I., & Febry, F. (2023). Perbandingan Asupan Protein Hewani dan Nabati pada Balita Stunting di Indonesia. Manuju: Malahayati Nursing Journal, 5(4), 1116–1129.
  • Sari, E. M., Nurilmala, M., & Abdullah, A. (2017). Amino Acid Profile and Bioactive Compounds of Seahorse (Hippocampus comes). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(2), 605–617.

Penulis: Nuril Mauludiyah
Mahasiswa Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA