EKBIS | TD – Mengapa dana miliaran dollar dari investor global mengalir deras ke beberapa negara tetangga sebutlah Vietnam, Thailand, dan Filipina? Sementara Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah serta populasi penduduk yang besar malah sering kali jadi pilihan terakhir? Apakah ada yang salah dalam strategi pembangunan kita? Atau, justru ada keunggulan tersembunyi pada negara tetangga yang selama ini luput dari perhatian umum? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar wacana, tetapi menjadi penentu arah masa depan ekonomi Indonesia di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Indikasi daya tarik investor asing yang relatif rendah untuk beroperasi di Indonesia tercermin pada nilai FDI. Foreign Direct Investment (FDI) adalah penanaman modal oleh investor luar negeri ke dalam sektor riil suatu negara. Misalnya dalam pembangunan pabrik, pembukaan kantor cabang, atau investasi strategis jangka panjang. Nilai FDI Indonesia kalah daripada negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand karena sejumlah faktor krusial. Misalnya regulasi yang tidak konsisten, birokrasi yang lambat, kualitas SDM yang belum selaras dengan kebutuhan industri global, serta infrastruktur yang belum merata. Sementara negara lain menawarkan kepastian hukum, insentif fiskal, dan ekosistem industri yang lebih ramah investor. Indonesia pada kenyataannya masih berkutat pada reformasi struktural yang belum tuntas, sehingga membuat investor global lebih memilih negara tetangga sebagai destinasi utama.
Diagram Batang Rasio Nilai FD (Foto: Dok. Penulis)
Investor global mempertimbangkan berbagai aspek mendasar sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya pada suatu negara. Lima faktor utama yang menjadi perhatian dalam hal ini meliputi:
– Stabilitas regulasi: Investor menghindari negara dengan perubahan kebijakan yang mendadak atau tumpang tindih antar lembaga. Negara dengan sistem hukum yang konsisten dan transparan cenderung lebih menarik untuk investasi.
– Biaya logistik dan infrastruktur: Konektivitas jalan, pelabuhan, dan sistem distribusi logistik yang efisien menjadi kunci utama dalam menentukan keberlanjutan investasi.
– Kualitas dan produktivitas tenaga kerja: SDM yang terampil namun tetap kompetitif secara biaya juga menjadi faktor daya tarik utama.
– Kemudahan berusaha (Ease of Doing Business): Kemudahan perizinan usaha, perpajakan, dan sistem OSS yang efisien sangat diperhatikan oleh investor asing.
– Stabilitas politik dan korupsi: Negara yang minim konflik politik, aman secara hukum, dan memiliki sistem pengawasan korupsi yang kuat maka akan lebih dipercaya oleh investor.
Vietnam menjadi salah satu bintang ASEAN dalam hal penerimaan Foreign Direct Investment (FDI). Pemerintah Vietnam sangat agresif menjalin kerja sama dagang internasional dan menyederhanakan perizinan usaha.
Pada Januari–April 2024, FDI Vietnam mencapai US$9,27 miliar, meningkat 4,5% secara tahunan. Di kuartal pertama 2025, pertumbuhan GDP mencapai 6,93% dan FDI naik 34,7%. Pemerintah juga fokus pada sektor teknologi tinggi seperti semikonduktor, energi terbarukan, dan AI.
Namun demikian, tantangan Vietnam masih terletak pada infrastruktur energi dan sistem jaringan bawah laut yang belum optimal.
Thailand memiliki stabilitas regulasi dan struktur birokrasi yang matang sejak dekade 1990-an. Pada Q1-2025, FDI Thailand tumbuh 62% menjadi US$8,2 miliar.
Komitmen investasi dari Board of Investment (BOI) mencapai US$21,8 miliar sepanjang 2024. Sektor elektronik dan otomotif menjadi andalan Thailand, terutama didukung oleh infrastruktur manufaktur yang sangat kuat dan regulasi yang ramah bisnis.
Filipina menonjol dalam sektor Business Process Outsourcing (BPO) dan memiliki tenaga kerja yang fasih berbahasa Inggris.
Pada 2024, FDI masuk sebesar US$8,93 miliar. Sistem hukum Filipina berbasis common law yang lebih dikenal oleh investor Barat. Selain itu, kehadiran regulasi Anti-Red Tape Authority (ARTA) menjadi nilai tambah.
Meski demikian, Filipina masih menempati peringkat rendah dalam Ease of Doing Business dan memerlukan prosedur yang panjang untuk mendirikan usaha.
Negara Indonesia seyogyanya memiliki potensi yang cukup besar untuk menampung masuknya investasi asing. Namun masih menghadapi sejumlah tantangan besar yang menyebabkan investor asing menjadi ragu-ragu. Seperti faktor-faktor berikut:
– Inkonsistensi regulasi membuat investor ragu dalam membuat keputusan jangka panjang.
– Infrastruktur belum merata, terutama di luar pulau Jawa yang menyebabkan biaya logistik menjadi cukup tinggi.
– Korupsi di tingkat lokal dan birokrasi yang rumit masih menjadi hambatan utama meskipun OSS sudah diterapkan.
– Ketidakpastian hukum seringkali menyebabkan renegosiasi kontrak pasca investasi.
– Mismatch keterampilan antara lulusan pendidikan dan kebutuhan industri membuat produktivitas tidak optimal.
– Indonesia: +4,87%
– Vietnam: +6,93%
– Thailand: +3,1%
– Filipina: +5,4%
Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai total dari seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh suatu negara dalam periode waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun atau per kuartal. GDP digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kinerja dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi angka GDP maka semakin besar pula nilai ekonomi yang dihasilkan oleh negara tersebut.
– Vietnam: 70/190
– Thailand: 46/190
– Filipina: 95/190
– Indonesia: 91/190
Ease of Doing Business adalah tolok ukur global untuk menilai kualitas regulasi dan efisiensi birokrasi dalam dunia usaha. Skor yang baik berarti pelaku usaha dapat membuka perusahaan, mendapat izin, membayar pajak, mengakses kredit, dan menegakkan kontrak dengan mudah dan cepat.
Thailand tetap menjadi magnet investor asing meskipun skor Ease of Doing Business-nya tidak tinggi. Ketertarikan tersebut karena:
– Memberikan gambaran objektif kepada investor asing mengenai kemudahan beroperasi di suatu negara.
– Menjadi alat perbandingan antar negara dalam reformasi regulasi ekonomi.
– Stabilitas regulasi dan hukum: Perlu dibentuk payung hukum yang menjamin kontrak investasi supaya tidak bisa diganggu oleh revisi sepihak.
– Reformasi logistik dan infrastruktur: Percepatan proyek pembangunan tol laut, pelabuhan terpadu, dan konektivitas digital harus menjadi prioritas nasional.
– Pemberantasan korupsi dan digitalisasi birokrasi: Harus dibuat sistem yang membatasi interaksi tatap muka dalam perizinan.
– Perlindungan hukum bagi investor: Kepastian hukum harus bersifat final dan tidak multitafsir.
– Penguatan SDM: Revitalisasi alumni SMK, politeknik, dan pusat pelatihan tenaga kerja harus menyasar industri-industri masa depan.
Vietnam, Thailand, dan Filipina berhasil menarik lebih banyak FDI karena regulasinya stabil, biaya operasional kompetitif, dan infrastruktur yang mendukung.
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan potensi namun masih perlu mengejar ketertinggalan di bidang hukum, SDM, dan logistik. Jika semua permasalahan ini berhasil direformasi maka di masa depan nanti Indonesia berpotensi menjadi episentrum ekonomi ASEAN dalam satu dekade ke depan.
Penulis: Sugeng Prasetyo
Editor: Patricia