OPINI | TD — Saat ini, struktur politik Korea Utara yang sangat tersentralisasi dan otoriter terus menjadi fenomena yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di tengah banyaknya negara yang beralih ke sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka, Korea Utara justru tetap berpegang pada model yang sangat kontras, yaitu totalitarianisme yang dijalankan oleh keluarga Kim selama lebih dari tujuh dekade. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa negara ini memiliki stabilitas politik yang luar biasa, dinamika kekuasaan yang terjadi di sana jelas menimbulkan berbagai permasalahan, baik bagi rakyatnya maupun bagi hubungan internasional.
Salah satu aspek yang paling problematis dari sistem pemerintahan Korea Utara adalah dominasi kekuasaan oleh satu individu dan keluarganya. Dalam era yang semakin terbuka dan terhubung secara digital, di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi nilai penting dalam pemerintahan, kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu keluarga memundurkan negara ini dalam hal kemajuan politik dan sosial. Pengaruh keluarga Kim terhadap setiap aspek kehidupan rakyat menyebabkan negara ini sulit beradaptasi dengan perubahan zaman.
Di tingkat masyarakat, kontrol totaliter yang diterapkan oleh pemerintah mengakibatkan terbatasnya kebebasan individu, pendidikan, media, dan akses terhadap informasi dari luar negeri yang sangat dibatasi dengan pengawasan sosial yang ketat. Dalam keadaan seperti ini, kebebasan berpikir dan berekspresi sering kali dianggap sebagai ancaman, bukan hak dasar. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang mendalam dan memblokir potensi rakyat untuk berkembang secara bebas.
Fokus utama pemerintahan Korea Utara pada militer, yang dikenal dengan kebijakan Songun atau politik militer pertama, tidak hanya menciptakan ketegangan di dalam negeri tetapi juga merusak hubungan negara ini dengan dunia luar. Kebijakan militer ini membuat Korea Utara terjebak dalam konflik yang tiada henti, baik dengan negara-negara tetangganya di Asia Timur, seperti Korea Selatan dan Jepang, maupun dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Program nuklir yang terus berkembang memperburuk ketegangan internasional, di mana Korea Utara dipandang sebagai ancaman global, meskipun negara ini berusaha mengklaim bahwa mereka hanya melakukan ini untuk melindungi diri.
Meskipun memiliki kekuatan militer yang signifikan, keberhasilan Korea Utara dalam mempertahankan kekuasaannya tidak dapat disamakan dengan kesejahteraan rakyat. Mengalokasikan sumber daya yang sangat besar untuk kepentingan militer sementara masyarakat menghadapi kelaparan dan kemiskinan adalah sebuah ketimpangan yang ironis. Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun pengaruh militer penting untuk mempertahankan rezim, prioritas utamanya adalah stabilitas politik di dalam negeri, bukan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan isolasi yang diterapkan Korea Utara juga merupakan aspek yang memperburuk situasi. Sementara negara-negara lain berkembang pesat dengan berpartisipasi dalam pasar global dan berinteraksi dengan dunia internasional, Korea Utara tetap terkurung dalam isolasi yang menyulitkan pertumbuhan ekonominya. Hal ini semakin diperparah dengan sanksi internasional yang diterapkan sebagai respons terhadap uji coba nuklir dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung.
Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa isolasi ini adalah strategi yang memungkinkan Korea Utara untuk mempertahankan kedaulatan politiknya tanpa intervensi eksternal. Dalam pandangan pemimpin Korea Utara, isolasi bukan hanya tantangan, tetapi juga taktik untuk menjaga kestabilan dan kebebasan dalam pengambilan keputusan tanpa tekanan dari negara-negara besar. Meski demikian, dalam jangka panjang, ini hanya memperburuk kondisi rakyatnya dan semakin menahan negara ini dari kemajuan teknologi, ekonomi, dan sosial.
Meskipun dalam banyak hal, sistem pemerintahan Korea Utara tampak kaku dan tidak dapat berubah, era modern membawa tantangan baru yang mungkin mendorong perubahan, baik secara internal maupun eksternal. Masyarakat semakin terhubung melalui teknologi dan media sosial. Meskipun dibatasi, pengaruh ini dapat sedikit demi sedikit mempengaruhi pola pikir individu. Selain itu, perubahan juga bisa datang dari dalam rezim itu sendiri. Seiring waktu, pemimpin-pemimpin baru dan perubahan dinamika kekuasaan bisa membuka ruang bagi kebijakan yang lebih pragmatis, meskipun tidak langsung menuju demokrasi, tetapi setidaknya menuju reformasi yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Namun untuk saat ini, Korea Utara masih berada dalam cengkraman pemerintahan otoriter yang tidak memberi banyak ruang bagi kebebasan. Untuk negara-negara di luar Korea Utara, penting untuk mendekati negara ini dengan kebijakan yang lebih seimbang, memberikan tekanan diplomatik untuk perubahan sambil mempertahankan saluran komunikasi yang dapat membuka potensi perbaikan dalam jangka panjang.
Sistem pemerintahan Korea Utara menunjukkan bagaimana kekuasaan yang terpusat dan militerisasi dapat bertahan meskipun ada banyak perubahan besar di dunia. Namun, harga yang dibayar untuk stabilitas politik adalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dialami rakyatnya. Pengaruh Korea Utara di era modern, meskipun cukup signifikan dalam konteks geopolitik, lebih banyak didorong oleh ketegangan dan ancaman daripada kemajuan dan kolaborasi internasional. Ke depan, meskipun tidak ada jaminan perubahan yang cepat, dunia berharap agar ada ruang bagi evolusi politik yang lebih manusiawi, dengan pemimpin yang lebih mementingkan kesejahteraan rakyat daripada mempertahankan kekuasaan dalam bentuk yang absolut.
Penulis: Agnia Wardah, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untirta. (*)